Sunday 28 February 2016

Raja NaiAmbaton

PARNA

Keturunan Raja Naiambaton dikenal sebagai keturunan yang terdiri dari berpuluh-puluh marga yang tidak boleh saling kawin (ndang boi masiolian). Kumpulan persatuan rumpun keturunan Raja Naiambaton disebut dengan PARNA (Parsadaan Raja Nai Ambaton). Catatan: huruf R dalam kata PARNA bukan representasi 'raja', tapi PAR=Parsadaan ("persatuan"), NA=Nai Ambaton.
Raja Naiambaton atau yang dikenal dengan nama Tuan Sorba Dijulu adalah salah satu dari 3 keturunan Tuan Sorimangaraja. Tuan Sorba Dijulu merupakan cikal bakal 'parsadaan' marga-marga Batak terbesar dan terbanyak atau yang lebih dikenal dengan keturunan Raja NaiAmbaton atau PARNA.

Raja Naiambaton sendiri adalah gelar yang memiliki banyak arti dikalangan masyarakat Batak terutama bagi keturunan Naiambaton sendiri. Disatu sisi penempatan kata 'Nai' adalah untuk perempuan, dll. Namun sama halnya dengan anak Tuan Sorimangaraja seperti Tuan Sorimangaraja yang lain seperti Sorba Dijae (NaiRasaon), Tuan Sorba Dibanua (NaiSuanon). Namun satu hal yang perlu ditelaah adalah kesamaan dari 3 nama ini, dari 3 nama diatas, hanya NaiAmbatonlah yang hingga saat ini tabu untuk saling menikahi, tidak seperti keturunan NaiRasaon dan NaiSuanon yang sudah saling 'marsiolian'. Raja dari istrinya yang bernama NaiAmbaton dialah Tuan Sorba Dijulu, Ompu Raja Nabolon. Dengan begitu banyak versi, bukanlah jadi masalah penamaan Raja bagi NaiAmbaton, nama ini sudah ada sebelum saya lahir, banyak kemungkinan bisa terjadi arti dari Raja di penamaan NaiAmbaton, mungkin saja bila keturunan NaiRasaon tidak bisa saling menikahi, bukan tidak mungkin hingga saat ini kita dengar parsadaan Raja NaiRasaon, atau parsadaan Raja NaiSuanon.

Raja NaiAmbaton memiliki 5 orang putra dan 1 orang putri. Namun ke-6 anak-anak Raja NaiAmbaton ini berasal dari 2 orang istri. Dari istrinya yang pertama, setelah menikah Raja NaiAmbaton, istri pertama lama memiliki keturunan, lama menanti akhirnya Raja NaiAmbaton menikah kembali, dan dari pernikahan keduanya lahirlah tanpa waktu yang lama seorang putra pertama bagi Raja NaiAmbaton, diberilah anak tersebut dengan nama 1.Raja Nabolon/Si Bolon Tua. Raja Nabolon memiliki arti tersendiri bagi Tuan Sorba Dijulu, yang merupakan kelak keturunan-keturunannya akan menjadi besar, dan itu terbukti saat ini keturunan Tuan Sorba Dijulu adalah keturunan kumpulan marga-marga terbesar di marga Batak. Sejak setelah itulah Tuan Sorba Dijulu lebih dikenal dengan nama Ompu Raja Nabolon. Kemudian dari istrinya yang kedua kembali lahirlah seorang putri, yang diberi nama 2. Pinta Haomasan. Di satu sisi lama belum memiliki keturunan dari istri pertama, sedangkan dari istri kedua sudah melahirkan 2 orang anak, mengandunglah istri pertama Tuan Sorba Dijulu dan lahirlah seorang putra.

Kegembiraan Tuan Sorba Dijulu dan syukur kepada Mulajadi Nabolon yang mengaruniakannya 'hagabeon' dan kelengkapan keturunan dari kedua istrinya serta menghapus kekhawatirannya selama ini. Diberilah anak tersebut dengan nama 3.Tamba Tua, yang memiliki arti bertambah lengkaplah keturunannya, sedangkan kata 'Tua' pun bagi orang Batak memiliki arti yang dalam dan bermakna. Setelah lahirnya Tamba Tua berturut-turut istri pertama Tuan Sorba Dijulu melahirkan kembali 3 orang putra, diberilah nama 4. Saragi Tua, 5. Munthe Tua, dan 6. Nahampun Tua.

Bagi orang Batak, anak laki-laki sulung adalah si pembawa nama bagi keluarganya. Dan apabila laki-laki menikahi 2 orang perempuan, keturunan dari istri pertamalah 'Raja Jolo' bagi keturunan laki-laki orang Batak tersebut, sekalipun dari istri kedua lebih dahulu memiliki keturunan dari istri pertama. Ini hampir terjadi dihampir semua orang Batak, terlebih orang Batak dulu atau nenek moyang dari masing-masing marga, hampir semua marga mengalami kisah yang sama terkait masalah ini.
Bagi Tuan Sorba Dijulu sendiri, inipun yang menjadi konflik bagi keturunannya. Kelak ketika anak-anak Tuan Sorba Dijulu semakin besar dan semakin mengerti akan adat budaya orang Batak, muncullah tanda tanya didalam pikiran masing-masing. Terlebih apabila Tuan Sorba Dijulu tidak pernah menceritakan, menyelesaikan sebelum anak-anak mereka mempermasalahkannya.

Terjadilah konflik diantara anak-anak Tuan Sorba Dijulu, terutama diantara sulung dari keturunan istri pertama dan kedua Tuan Sorba Dijulu yaitu antara Bolon Tua dengan Tamba Tua, Bolon Tua yang lahir lebih dulu dari istri kedua Tuan Sorba Dijulu telah dianggap sebagai sulung bagi Tuan Sorba Dijulu, Bolon Tua merupakan kesayangan dari Tuan Sorba Dijulu, kemanapun Tuan Sorba Dijulu pergi selalu mengajak anaknya Bolon Tua baik itu 'marmahan' atau berburu dan lainnya. Tamba Tua yang merasa bahwa dalam adat seharusnya dialah Raja Jolo karena dari istri pertama mempertanyakan hal itu kepada Tuan Sorba Dijulu dan Bolon Tua. Hal ini disadari setelah mereka besar dan paham akan adat budaya Batak, dimana pasti Si Bolon Tua lah yang memperoleh jambar ataupun ulos dll dalam acara adat. Karena perselisihan ini semakin meruncing, maka Tuan Sorba Dijulu dengan caranya menengahi Si Bolon Tua dan Tamba Tua dengan cara 'marultop' adu ultop antara Si Bolon Tua dan Tamba Tua dengan catatan siapa yang berdarah terkena ultop, maka dialah sianggian. Namun sebelum adu marultop itu terjadi, Tuan Sorba Dijulu menumpulkan ultop Tamba Tua dan membuat runcing/tajam ultop (anak panahnya) Si Bolon Tua. Mengapa Tuan Sorba Dijulu melakukan ini...??. Ada banyak kemungkinan, karena dia lebih menyayangi Si Bolon Tua, atau karena Si Bolon Tua adalah awal dari hagabeoni Tuan Sorba Dijulu, atau karena malu apabila selama ini Tuan Sorba Dijulu dianggap tidak mengerti adat karena selalu Si Bolon Tua lah yang menerima jambar/ulos dll dalam setiap acara, atau mungkin inilah cara yang paling tepat agar keturunannya berdamai, karena apabila Tamba Tua terbukti siakkangan, tentu Saragi Tua, Munthe Tua, Nahampun Tua yang umurnya jauh sekali dari Si Bolon Tua menjadi haha doli Si Bolon Tua, dan itu tentu membuat Si Bolon Tua menjadi sedih atau mungkin marsak atau mungkin pergi meninggalkan atau hal-hal lainnya. Kejadian marultop ini didengar oleh Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua juga Pinta Haomasan. Namun tak disangka, ketika Tuan Sorba Dijulu menumpulkan ultop Tamba Tua dan membuat runcing ultop Si Bolon Tua, hal ini dilihat oleh borunya Pinta Haomasan. Pinta Haomasan melihat semua yang dilakukan ayahandanya Tuan Sorba Dijulu.

Terjadilah adu ultop antara Si Bolon Tua dan Tamba Tua, dimana Tamba Tua lah yang berdarah oleh ultop Si Bolon Tua. Setelah kejadian ini, ditemui Pinta Haomasan lah Tamba Tua, dan memberitahukan kejadian tentang apa yang dilakukan ayah mereka Tuan Sorba Dijulu terhadap ultop Tamba Tua. Lalu, apa alasan Pinta Haomasan memberitahukan hal itu kepada Tamba Tua...?? Bukankah Si Bolon Tua adalah saudara satu rahim ibu dengan Pinta Haomasan dibandingkan Tamba Tua...??. Semenjak kecil, Si Bolon Tua selalu pergi bersama ayahnya, sedangkan Pinta Haomasan bertugas mengurus adik-adiknya yang masih kecil termasuk Tamba Tua. Dalam bahasa Bataknya dipatarus-tarus.

Perlu untuk kita ketahui, kejadian marultop terjadi ketika Si Bolon Tua, Tamba Tua sudah magodang, termasuk Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua. Semenjak muda dan belum menikah, tidak ada permasalahan akan siakkangan, karena sudah menikahlah baru kelihatan adat bagi orang Batak itu. Pembagian jambar, ulos, pasu-pasu, dan yang selalu tampil saat itu selalu Si Bolon Tua, disinilah mereka yang abang beradik itu baru mulai mempermasalahkannya, disaat mereka mulai menyadari makna dan mengerti adat istiadat itu sendiri, ditambah adik-adik Tamba Tua yang juga mulai menyadari dan mengerti, lalu disampaikan pada haha dolinya Tamba Tua untuk mempertegas masalah ini ke Tuan Sorba Dijulu. Jadi ke lima anak Tuan Sorba Dijulu sudah marhasohotan sebelum beberapa anak-anaknya pergi dari Pangururan termasuk borunya si Pinta Haomasan.

Kembali pada cerita sebelumnya, diceritakan Pinta Haomasan lah kepada ibotona Tamba Tua tentang apa yang telah diperbuat ayah mereka Tuan Sorba Dijulu. Tamba Tua merasa kecewa sekali, dan hal ini diceritakanlah kepada adik-adiknya Saragi Tua, Munthe Tua dan Nahampun Tua. Kemudian mereka sepakat untuk meninggalkan Pangururan. Rencana inipun didengar oleh itonya Pinta Haomasan, dengan bersedih hati karena rencana ito-itonya ini, Pinta Haomasan datang kerumah Tamba Tua dan membawa sipanganon lao paborhaton ibotona, sebagai bentuk tanda kasih sayang dan doa. Akhirnya pergilah Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua dari tanah Pangururan dengan perasaan sedih.

Disamping versi tersebut, ada versi lain yang mengatakan namun tidaklah berbeda jauh dari kisah diatas. Dikisahkan tidak sampai terjadi kejadian namarultop i, sebelum kejadian marultop, Pinta Haomasan sudah lebih dahulu memberitahukan Tamba Tua apa yang telah dilakukan Tuan Sorba Dijulu ayahanda mereka, dengan rasa kekecewaan dan sedih akhirnya Tamba Tua dan adik-adiknya sepakat untuk pergi dari tanah Pangururan. Lalu di versi yang lain dikatakan setelah kejadian marultop, muncul lah perasaan dendam Si Bolon Tua terhadap Tamba Tua dimana dia telah membuat masalah akan siakkangan, padahal saat marultop telah terbukti Tamba Tualah yang berdarah kena ultop Si Bolon Tua, dan Si Bolon Tua berencana membunuh Tamba Tua, namun rencana Si Bolon Tua diketahui Pinta Haomasan, dan dengan segera Pinta Haomasan memberitahukannya pada Tamba Tua, akhirnya Tamba Tua sepakat pergi meninggalkan tanah Pangururan bersama adik-adiknya.

Perlu untuk kita ketahui kembali, Pinta Haomasan menikah dengan Raja Silahi Sabungan, dan Tamba Tualah yang menikahkan Pinta Haomasan dengan Raja Silahi Sabungan disaksikan Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua. Saat itu Si Bolon Tua terlalu sibuk dengan urusannya bersama Tuan Sorba Dijulu marmahan, berburu, mengadu kesaktian sehingga Tamba Tualah yang mangamai Pinta Haomasan saat itu, dimana posisi Tamba Tua sudah menikah dengan boru Malau Pase. Namun hari-hari kegiatan Pinta Haomasan banyak dihabiskan bersama ibotona karena Raja Silahi Sabungan yang mengadu kesaktian di luar tanah Pangururan dan jarang kembali. Keturunan dari Pinta Haomasan adalah Silalahi Raja. Namun setelah Silalahi Raja besar dia tidak lagi dapat berkumpul dengan tulangnya Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua dan Nahampun Tua dan anak-anak tulangnya, karena Tamba Tua dan adik-adiknya serta keturunannya sudah pergi dari tanah Pangururan, sehingga hanya tinggal Si Bolon Tua dan keturunannya lah yang tinggal di tanah Pangururan. Oleh karena itu, Silalahi Raja menikahi boru tulangnya dari Si Bolon Tua, dan itu terjadi piga-piga sundut mangalap boru tulangna Si Bolon Tua. Karena sudah beberapa sundut mengambil boru tulangnya dari Si Bolon Tua, maka dikatakanlah Silalahi Raja boru sihabolonan ni Simbolon, karena sudah mengambil dari atas boru Simbolon. Selebihnya pihak Silalahi Raja lah yang lebih mengetahuinya.

Akhirnya Tamba Tua dan adik-adiknya menemukan tanah baru yang cocok untuk ditempati bersama semua keturunannya dan keturunan adik-adiknya, diberilah nama huta itu huta Tamba. Disinilah dimulai parserahan marga-marga mayoritas PARNA. Setelah menempati kampung yang baru dan membangun kampung tersebut, Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua sepakat untuk menghambat Si Bolon Tua. Tamba Tua di huta Tamba-Samosir, Saragi Tua pergi ke Simalungun, Munthe Tua ke tanah Karo, dan Nahampun Tua ke Dairi. Namun belum diketahui apakah turut serta membawa keturunannya, namun berdasarkan tano parserahan marga-marga PARNA keturunan Saragi Tua, Munthe Tua, Nahampun Tua, keturunannya ada yang ikut dan ada yang tidak ikut. Saragi Tua memiliki 2 anak, Ompu Tuan Binur dan Raja Saragi, Saragi Tua membawa Raja Saragi ke tanah Simalungun sedangkan Ompu Tuan Binur tinggal di huta Tamba. Setelah tiba di tanah Simalungun, Raja Saragi menikah di tanah Simalungun dan memiliki keturunan, lama di tanah Simalungun Saragi Tua memutuskan kembali ke kampungnya di huta Tamba, namun Raja Saragi tidak ingin lagi kembali ke huta Tamba, tetapi salah satu keturunan Raja Saragi ikut bersama opungnya Saragi Tua kembali ke huta Tamba. Keturunan Raja Saragi yang tinggal di tanah Simalungun ini diketahui adalah cikal bakal marga Sumbayak, dan yang kembali ke huta Tamba adalah cikal bakal marga Sidabukke yang kemudian merantau ke Simanindo yang saat ini mayoritas bukanlah bagian dari punguan Parna lagi karena kejadian dimana cucu dari Raja Saragi yang bernama Raja Sinalin yang dari huta Tamba merantau ke Simanindo Sibatu-batu menikahi itonya sendiri boru Napitu. Dan hingga saat ini sudah banyak Sidabukke menikahi boru Parna, dan marga Parna sendiri menikahi boru Sidabukke, hanya minoritas yang mengatakan masih Parna. Mengapa begitu…?? Ini ada kisahnya sendiri mengapa sampai masih ada minoritas Sidabukke yang mengatakan Parna, akan dibahas di lain kesempatan. Ketika Saragi Tua kembali ke huta Tamba, keturunannya sudah merantau dari huta Tamba, dan menemukan tanah baru yang kelak dinamakan Huta Simarmata.

Lalu Munthe Tua dan anak seorang anaknya ikut ke tanah Karo, anak dari Munthe Tua ini diketahui adalah Ompu Jelak Karo yang akhirnya tidak mau kembali dan menetap di tanah Karo. Anak dari Munthe Tua sendiri ada tiga, Raja Sitempang, Ompu Jelak Maribur, dan Ompu Jelak Karo. Namun yang ikut ke huta Tamba hanyalah Ompu Jelak Maribur dan Ompu Jelak Karo, namun karena Ompu Jelak Karo mengikuti Munthe Tua ke tanah Karo namun enggan kembali, yang kembali hanya Munthe Tua ke tanah Tamba dan tinggalah Ompu Jelak Maribur beserta keturunannya. Lalu bagaimana dengan anaknya yang pertama Raja Sitempang…??

Raja Sitempang tidak ikut Munthe Tua dari tanah Pangururan ke huta Tamba disebabkan ketika Raja Sitempang lahir, Munthe Tua langsung mengasingkan Raja Sitempang jauh ke pusuk buhit, tidak ada yang tau akan hal ini. Sehingga ketika kejadian namarultop Raja Sitempang tidak tahu menahu akan hal tersebut. Sedikit tentang Raja Sitempang, Raja Sitempang diasingkan ke pusuk buhit, Raja Sitempang tidak tau sama sekali apa yang terjadi di kampung halamannya di Pangururan. Baik itu kejadian ultop, menikahnya namboru Pinta Haomasan dll. Raja Sitempang diasingkan oleh karena (sattabi sangap di ompui) cacat fisik yang dideritanya. Lama diasingkan dipusuk buhit, Raja Sitempang bertemu dengan seorang gadis yang juga ternyata diasingkan orangtuanya, gadis ini memiliki nasib yang sama dengan Raja Sitempang yang cacat fisik, Raja Sitempang tidak mengetahui siapa gadis ini yang adalah anak dari namboru kandungnya Pinta Haomasan, begitu juga dengan gadis tersebut tidak mengetahui Raja Sitempang adalah anak dari tulangnya Munthe Tua. Karena saling tidak mengetahui siapa masing-masing diri mereka, yang sebenarnya mereka ada sepupu kandung akhirnya mereka saling mengasihi dan menikah, namun tidak ada keturunan yang dihasilkan dari pernikahan ini. Dalam hal ini, Raja Sitempang satu level dengan Si Boru Marihan, yang adalah nama si gadis tersebut. Lama dipusuk buhit, tanpa ada yang tau persis penyebabnya, diketahui Raja Sitempang kembali normal seperti manusia biasanya. Dikatakan dia bersemedi di pusuk buhit meminta pada Mulajadi Nabolon untuk kesembuhannya dan Mulajadi Nabolon mengabulkannya. Bukan hanya sembuh, Raja Sitempang juga memiliki cukup kesaktian dalam dirinya. Setelah kenormalan fisik Raja Sitempang, dia memutuskan kembali ke kampung halamannya ke tanah Pangururan. Tanah Pangururan yang didatanginya tidak sama dengan tanah Pangururan yang telah lama ditinggalkannya, dia tidak lagi menemukan Munthe Tua, bapatuanya Saragi Tua, Tamba Tua dan bapaudanya Nahampun Tua yang dia temui hanyalah keturunan dari Si Bolon Tua.


NB : kisah Si boru Marihan pun masih menjadi simpang siur bila dikaitkan dengan versi Silalahi, namun kisah di atas diambil dari versi Sitanggang. Mohon maaf apabila dari pihak Silalahi menganggap ini salah, karena pada dasarnya penulis mengambil hanya mengaitkan dari versi Sitanggang saja. Dalam satu versi Raja Sitempang dan Siboru Marihan tidak memiliki anak, disatu sisi memiliki anak yang bernama Raja Hatorusan bukan Raja Natanggang.


Nahampun Tua pergi ke Dairi, diketahui hanya Nahampun Tualah yang tidak kembali lagi ke huta Tamba, Nahampun Tua lama dan menetap di Dairi. Namun ada 2 versi yang mengatakan, keturunan Nahampun Tua adalah si Onom Hudon, namun versi yang lebih sering diceritakan adalah Nahampun Tua tidak berketurunan anak laki-laki, hanya anak perempuan saja. Di tanah Dairi Nahampun mewariskan warisan, namun karena tidak memiliki anak laki-laki hanya anak perempuannyalah yang mengurus, atau bahkan rumah/tanah Nahampun Tua di Dairi tidak ada yang mengurus. Lama puluhan tahun kemudian, datanglah anak rantau ke tanah Dairi, Raja Huta setempat tentu menanyakan siapa gerangan anak rantau ini, setelah diketahu bahwasanya anak rantau ini adalah keturunan Si Bolon Tua maka Raja Huta pun mengatakan bahwa di tanah Dairi ini ada peninggalan opung anak rantau ini, opung yang adalah adik dari opung mereka Si Bolon Tua, dan Raja Huta mengatakan agar anak rantau ini menempati tanah warisan dan peninggalan Nahampun Tua. Diketahui anak rantau ini adalah keturunan Si Bolon Tua dari Tuan Nahoda Raja yang bernama Tuan Seul. Akhirnya Tuan Seul tinggal dan menetap di tanah Dairi, dan memiliki 7 keturunan anak laki-laki, diantaranya Simbuyak-buyak (meninggal), Tinambunan, Tumanggor, Maharaja, Turutan, Pinayungan dan Nahampun. Alasan Tuan Seul memberikan nama anak bungsu laki-lakinya Nahampun adalah sebagai bentuk penghormatan dan mengenang Nahampun Tua, karena saat ini Tuan Seul lah yang menempati dan menggunakan warisan serta peninggalan Nahampun Tua di tanah Dairi.

Namun tidak dapat dipastikan berapa lama Saragi Tua di Simalungun dan kembali ke huta Tamba, Munthe Tua di tanah Karo dan kembali ke huta Tamba, juga Nahampun Tua di tanah Dairi.
Dari kisah ultop diatas, adanya kata sepakat Simbolon Tua adalah haha doli Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua dan Nahampun Tua, sebab itulah poda ni da ompung Ompu Raja Nabolon, dipillit ompung i do Si Bolon Tua gabe Raja Jolona, Ido umbahen goar ni Tuan Sorba Dijulu ima Ompu Raja Nabolon.
Kembali pada kisah Raja Sitempang…

Raja Sitempang pulang ke tanah Pangururan dan tidak menemukan keluarganya, akhirnya Raja Sitempang memutuskan untuk mencari sembari mengadu kesaktian karena Raja Sitempang saat ini adalah seorang yang memiliki kesaktian dan tidak bercacat fisik seperti dulu ketika diasingkan. Ketika Raja Sitempang pulang ke tanah Pangururan, dia hanya dapat menemukan keturnan Si Bolon Tua yaitu Tuan Nahoda Raja yang adalah anak abangnya Suri Raja. Perbedaan umur Suri Raja dengan Raja Sitempang cukup jauh, dikarenakan Si Bolon Tua yang lahir lebih dulu jauh dibandingkan Munthe Tua, kemudian Raja Sitempang yang lama menikah karena lama diasingkan ke pusuk buhit mengakibatkan ketertinggalan umur yang cukup jauh.

Pergilah Raja Sitempang memulai perjalanannya, lama mencari namun tak kunjung dia temukan, alhasil tibalah Raja Sitempang di sebuah kampung di Dairi dikampung marga Mataniari, disana dia dijamu dan mengobati orang-orang yang sakit juga membela kampung tersebut dari peperangan (banyak cerita dan versi terkait ini). Karena jasanya, dan keakrabannya hal yang lumrah dijaman dulu adalah memberikan putri dari Raja Huta tersebut untuk dinikahi, disinilah Raja Sitempang menikahi si boru Porti Mataniari. Dalam versi Sitanggang, Tuan Sorba Dijulu digelari Datu Sindar Mataniari yang nama tersebut adalah nama ciri khas dari daerah Dairi, adapun gelar tersebut karena jasa-jasa yang telah dilakukan Raja Sitempang terhadap kampung tersebut, maka Raja Mataniari pun mengatakan Raja Sitempang adalah anak dari seorang datu yang hebat, muncullah gelar Datu Sindar Mataniari, keturunan datu (dukun) yang memberikan sinar pada kampung Mataniari (sinar disini adalah keberuntungan). Dinikahilah si boru Porti Mataniari, dan dibawa Raja Sitempang ke kampung halamannya. Raja Sitempang pun memutuskan menghentikan pencarian karena lama sudah tidak ditemukannya. Raja Sitempang sendiri setelah menikah dan mengetahui adat istiadat menyadari kalau dari ibu, mereka lebih sulung dibandingkan keturunan Si Bolon Tua, disinilah kemudian banyak muncul versi kembali. Apakah Raja Sitempang tidak mau membuka adat istiadat yang sudah terbiasa dilakukan apalagi setelah lama dia diasingkan ke pusuk buhit dan lama tidak kembali ke tanah Pangururan, dan versi dimana namborunya Pinta Haoamasan telah menceritakan kejadian yang terjadi di tanah Pangururan yang membuat Raja Sitempang pergi mencari ayahandanya. Karena itu Raja Sitempang tidak mau mengungkit kembali.

Di tanah Pangururan, si boru Porti Mataniari melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Raja Natanggang, disamping disaat itu di Pangururan Tuan Nahoda Raja pun sudah menikah dengan boru Tobing dan melahirkan anak laki-laki selang beberap tahun setelah Raja Natanggang lahir. Raja Natanggang bertumbuh besar dan menikahi boru Naibaho anak dari Raja Naibaho yang juga adalah penguasa di Pangururan (perlu kita ketahui, Pangururan itu besar dan luas). Raja Naibaho ini memiliki 2 orang putri, putri pertamanya dinikahi oleh Raja Natanggang. Setelah itu, anak Tuan Nahoda Raja menikahi boru Naibaho yang adalah adik kandung dari istri Raja Natanggang. Disini anak Tuan Nahoda Raja menjadi naik satu level dengan Raja Natanggang. Karena dari umur dan dari parparibanan, Raja Natanggang adalah abang dari anak Tuan Nahoda Raja ini. Tuan Nahoda Raja adalah siakkangan keturunan dari Simbolon Tua. Karena terbiasa selama ini jambar, ulos, pasu-pasu, yang selalu tampil dll diberikan terlebih dahulu kepada Simbolon Tua dan keturunannya, maka semenjak parpariban ini itu dipertanyakan Raja Natanggang, bagaimana bisa adiknya yang manjalo jambar dohot akka na asing…??. Ditambah Raja Natanggang tahu kalau dari parsonduk ni da opung Tuan Sorba Dijulu mereka dari istri pertama. Namun keturunan Simbolon Tua tidak menerima itu, disebabkan adat istiadat yang telah terbiasa dilakukan merekalah yang selalu menerima. Keturunan dari adik-adik Tuan Nahoda Raja protes kepada abang mereka, dan karena Tuan Nahoda Raja adalah sulung dari keturunan Simbolon Tua maka anak Tuan Nahoda Raja wajib menyampaikannya kepada Raja Natanggang. Perbedaan pendapat pun terjadi, hingga sampai ke telinga hula-hula Naibaho yang mertua dari Raja Natanggang dan anak Tuan Nahoda Raja ini. Dengan fungsinya sebagai hula-hula, siboan dame, akhirnya kata damai lah yang diberikan sang mertua Raja Naibaho kepada kedua helanya agar tidak mempermasalahkan masalah tersebut, karena Raja Naibaho tau disatu sisi Raja Natanggang adalah siakkangan dari parparibanan, disatu sisi anak Tuan Nahoda Raja adalah siakkangan bila dilihat dari keturunan dan poda ni Ompu Raja Nabolon, maka keluarlah istilah Ipar-Ipar Partubu, rap marsihahaan rap marsianggian. Karena dari leluhur mereka dekat, namun kedekatan itu dipererat dengan sama-sama menikahi boru Naibaho, marabang ma anak ni Tuan Nahoda Raja tu Raja Natanggang, alana siakkangan pinompar ni Simbolon Tua manjou abang tu Raja Natanggang, gabe dohot ma akka angina manjou abang tu Raja Natanggang. Dan itu menjadi terbiasa hingga turun-temurun di kedua marga itu, untuk itu bila di Pangururan lebih digunakan istilah ise do parjolo tubu ima siakkangan sian ise parpudi tubu, marabang molo tu ise naparjolo tubu. Sama seperti di jaman sekarang, ada marga Napitu menikahi boru Damanik, dan marga Sidabutar menikahi boru Damanik yang adalah adik kandung dari boru Damanik yang dinikahi marga Napitu, dalam tutur Sidabutar tentu memanggil abang ke marga Napitu. Hal ini hamper banyak kita temui di lingkungan kekerabatan orang Batak.
Di satu sisi dari berbagai macam versi, ada juga yang mengatakan Raja Sitempang itu adalah gelar dari Munthe Tua, dimana Raja Natanggang adalah pahompunya, versi lain mengatakan Raja Sitempang adalah anak Tuan Sorba Dijulu, hanya saja dalam versi ini (versi Sitanggang) tidak ada Raja Batak, yang paling atas adalah Tuan Sorimangaraja dengan 2 anaknya Raja Isumbaon dan Guru Tatea Bulan, Raja Isumbaon memiliki 3 orang anak yaitu Tuan Sorba Dijulu (Datu Sindar Mataniari), Tuan Sorba Dijae, Tuan Sorba Dibanua. Tuan Sorba Dijulu memiliki 3 anak, Guru Sodungdangon (yang tidak jelas kisahnya), Raja Sitempang dan Raja Nabolon. Namun di Munas Sigalingging dimana Sigalingging adalah marga manjae Raja Sitempang memiliki silsilah yang berbeda dengan versi Sitanggang itu sendiri, namun sama dengan versi Parna pada umumnya, namun menjelang tahun 2005 keatas versi mereka bergeser mengikuti Sitanggang, dan direncanakan akan ada Re-Silsilah dan mengadakan Munas kedua kali di tahun 2017 mendatang (menurut info yang diketahui).
Hal ini memiliki keterkaitannya dengan Kapala-Kapala Nagari pemberian Belanda yang datang ke Samosir dengan mengumpulkan Raja-Raja Bius/Huta di Pangururan, namun ada Raja-Raja yang datang ada juga yang tidak bersedia datang namun tanpa sepengetahuan si Raja, adiknya mewakili dan lain-lainnya. Disinilah dimulainya orang Batak melek teknologi dan mengalami kemajuan, karena Raja-Raja yang datang tersebut selain diberi wilayah kekuasaan dan gelar Kapala Nagari, mereka juga diajarkan baca tulis dan pengetahuan lainnya seperti bercocok tanam yang baik, membuat keterampilan dan lain-lain, itu dapat kita lihat dimana ada marga-marga Batak yang maju, contohnya di Parna itu sendiri, marga-marga Simbolon dan Sitanggang adalah marga-marga yang orang-orangnya lebih dulu maju, terlihat dari jabatan, prestasi dan kemampuan mereka di berbagai bidang profesi. Karena sifat orang Batak, melihat dongan tubuna sukses, agar dapat dibantu terjadilah perubahan tutur, ini juga turut mempengaruhi, karena sukses dan agar dibantu yang butuh bantuan memanggil abang kepada yang sukses, dan yang sukses karena merupakan satu keuntungan terlepas dia tau partuturan atau tidak mereka biasanya hanya diam. Banyak sekali terjadi perubahan karena faktor politik (Kapala Nagari), ekonomi, status sosial dan lain-lain. Karena faktor-faktor tersebut dan semakin modernnya jaman, tidak lagi mempedulikan yang namanya partuturan yang penting asal bisa makan saja dulu. Namun lambat laun kemajuan teknologi itu akan merata, akan muncul orang-orang hebat dan sukses dari marga-marga yang jarang tampil di depan publik, dan mereka biasanya lambat laun memahami, menyadari adanya perubahan yang terjadi, sekalipun orang-orang tua telah menganut paham yang keliru dijaman mereka karena faktor kebutuhan untuk hidup di tanah perantauan. Ini akan dijelaskan di kisah Kapala Nagari di Tanah Batak.

No comments:

Mau Belanja Di WhatsApp Saja Mudah

WhatsApp.com