Menunggu Kamis
Semua bisa karena
terbiasa. Ya, kami terbiasa bertemu. Semuanya memang ajaib. Aku lupa kapan kami
bertemu untuk kali pertama. Aku hanya mengaggumi untuk pertama kali karena
sosoknya yang tinggi dan tidak banyak bicara. Kulit sawo matang dan mata yang
bersinar. Dia seorang yang pandai bermusik. Entah mengapa tubuhku yang lelah
saat itu begitu menikmati kehadirannya di salah satu deretan suara kelompok
kami. Aku tidak pernah tahu namanya hingga dia memperkenalkan diri.
"Yosi.",
dia mengulurkan tangannya, berharap jabatnya bersambut. "Merry.",
jawab singkatku. Baru saja kami melempar senyum dan larut dalam pandang
masing-masing, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari belakang.
"Hati-hati, dia dosen kalian. Yang sopan kenalannya."
Sial. Identitasku
terbuka begitu cepat. Seketika berubahlah wajahnya dan kalau di depanku ada
cermin, aku bisa melihat bagaimana ekspresi wajahku berubah seketika.
"Ohh..maaf Bu dosen, ga bermaksud apa-apa, Bu. Saya Cuma pengen kenalan
dengan ibu aja." , seketika nada dan gaya bicaranya berubah. Namun tatap
matanya tidak berubah. Kami tahu bahwa kami saling curi pandang. Tidak rumit
untuk menjelaskan itu. Dia yang sederhana sudah menarik perhatianku. Aku tidak
tahu apakah aku menarik di matanya, yang jelas dia begitu di mataku.
Bagaimana caranya
tertawa dan tersenyum sambil menyisipkan lirikannya ke arahku, demikian juga
aku. Kami ini seperti anak remaja yang sedang mengaggumi satu sama lain. Cara
terbaiknya adalah diam-diam.
"Ibu mengajar
apa dan di mana?", lanjutnya sambil mengambil kursi dan menempatkannya di
sampingku. Aku tahu rentang pautan usia kami jauh. Dia bukan dari tanah Jawa.
Jangan tanyakan alasan mengapa hal ini kerap terjadi. Ini semua terjadi begitu
saja. Kalau sudah begini, apa yang mau dipertanyakan. Konyol ketika kita
mempertanyakan rasa. Kata banyak orang, rasa itu adalah milik rasa.
Menceritakannya pun tidak bisa menjadikan rasa milik bersama. Hanya cerita yang
akan menjadi milik bersama, tidak dengan rasa. "Aku mengajar psikologi, Bang. Di
salah satu kampus swasta di sini.". Jawabku singkat. Aku masih malu,
bahkan aku menunduk ketika dia menatap dan sibuk bertanya banyak hal. Inikah
namanya jatuh cinta pada pandangan pertama? Yang kata banyak orang omong
kosong. Ini jatuh hati.
"Saya juga dulu
kuliah di situ, Bu. Tapi sepertinya saya sudah kena DO karena saya malas, Bu.
Ibu kalau punya mahasiswa seperti saya pasti stress. Pilihannya kalau gak saya
yg keluar, ibu yang minta pindah kelas.", ceritanya sambil melirik. Ihh..genit
ini orang, dalam hatiku.
"Ahh, masa
sih?" , aku mengernyitkan dahi, meragu. Dia hanya menaikkan bahu, menggeleng dan
tersenyum dengan gayanya yang menceritakannya di sini pun aku tak bisa. Aku
memilih membereskan barangku dan pamit pulang. "Ibu besok sabtu
datang?", tanyanya saat aku sibuk memasukkan smartphone, teks lagu dan
laptop. "Belum tahu, kok kayaknya ga bisa ya.", sekenanya aku
menjawab. Sabtu aku ingin membuat agenda dengan teman-temanku. "Ohh gitu
ya, Bu. Saya paham. Ibu malam mingguan ya?", sahutnya sambil membereskan
kursiku. Aku hanya tersenyum dan pamit. Meninggalkannya begitu itu lebih dari
cukup.
Sabtu, aku datang
dan belum kulihatnya. Aku memutuskan masuk untuk merapikan berkas lagu dan
ngobrol dengan teman yang lain. Saat keluar, dia tertangkap mataku. Manis,
lebih rapi dengan jambang tipis yang sudah menyedot perhatianku. Celana jeans,
polo shirt hitam dan senyum. "Ehh..halo ibu dosen. Batal malam minggu
ya?", tanyanya sambil senyam senyum, dan tatapannya membuatku malu.
"Jangan panggil aku ibu dosen, bang. Panggil nama saja.", spontanku
sambil memberinya jabatan. "Saya Cuma mau menghormati ibu dan profesi ibu.
Ibu cantik malam ini.", aku kaget dengan kata-kata yang keluar dari
mulutnya. Aku tersipu malu, terimakasih.
Kami sudah
menyelesaikan tugas masing-masing. Dia tenor dan saya sopran. Kami ngobol
banyak hal. Dia menanyakan usiaku, rumahku dan hobiku. Hingga di tengah
keramaian ia memilih mengambil gitar dan memetikkan lagu untukku. Dia
mengambilkan kursi buatku di saat yang lain sibuk dalam keramaian. Aku memang
suka diperlakukan manis hingga aku tak lagi sempat berpikir intensi di balik
itu semua. Kami tidak mau berpindah satu sama lain.
Selesainya kami
makan, dia mengajakku bergabung dengan teman-teman yang lain untuk bergoyang.
Aku menggeleng karena aku lebih menikmati keramaian. Aku tidak ingin bergabung
di keramaian kalau mereka bukan kawananku.
"Ayolah bu
dosen, ibu di kampus boleh jaim, sama saya jangan, Bu. Ayo berdiri, gerak sama saya,
Bu!", dia mengulurkan tangan kanannya. "Buang dulu rokok abang baru aku mau
ikut sama abang!", aku mendapatinya memegang rokok di tangan kirinya.
Seketika itu dia mematikan rokok dan menyimpannya. Bayangkan seberapa dekat
jarak kami dan aku hanya menunduk. Dia orang yang baru kukenal beberapa hari
lalu namun kami sering bertemu dan dia begitu manis. Aku memilih menikmati
daripada ribut mempertanyakan, membuat isi kepalaku penuh.
Semua berakhir
ketika aku pamit pulang. "Hati-hati ya, bu dosen. Sampai jumpa lagi."
Aku hanya bisa tersenyum. Berjalan dan menengok ke belakang sebentar.
Dia
mengangguk dan tersenyum. Aku membalasnya. Cerita diam-diam ini tidak
lagi
diam-diam, namun sensasi itu hanya terasa dalam diam. Kini aku menunggu
kamis untuk bisa melihatnya lagi. Kamis, kami latihan lagi.