Raja Isumbaon adalah putra kedua/bungsu Raja Batak. Raja Isumbaon mempunyai 2 (dua) orang putra, yaitu:
- Guru Tetean Bulan
- Tuan Sorip Mangaraja
Tuan Sorimangaraja
Tuan Sorimangaraja mempunyai 3 (tiga) orang putra, yaitu:
- Sorba dijulu mangalap br Naiambaton
- Sorba di Jolma Mangalap Br Nairasaon
- Tuan Sorbadibanua,Mangalap Br Sanggul Haomason
Naiambaton, kurang pas, seharusnya atau aslinya adalah Nai Ambaton)
dan Nairasaon seharusnya atau aslinya Nai Rasaon, tidak didahului kata
"Raja". Karena yang dimaksud "raja" ialah pomparannya yang LAKI-LAKI.
Kedua orang tersebut, Nai Ambaton dan Nai Rasaon adalah Ibu. Maka
seharusnya ada pertukaran letak suku kata, bukan "pomparan raja
naiambaton atau nairasan" tetapi seharusnya adalah "raja pomparan ni nai
ambaton" atau raja pomparan ni nai rasaon" dan seterusnya. Kata "Nai"
dalam bahasa Batak asli adalah panggilan-kehormatan, semacam "gelar".
Karena kata Nai bagi seorang ibu dan kata "Amani" bagi seorang bapak
menunjukkan bahwa pasangan suami-istri yang bersangkutan sudah berhasil
naik setingkat dalam status sosial bermasyarakat, dalam arti ibu dan
bapak yang bersangkutan sehari-hari dipanggil dengan nama anak pertama,
lepas dari laki atau perempuan. Namun kepada sang bapak, didepan nama
anak-pertama tsb ditambahkan "Amani", semisal anak pertama tsb ialah si
Bunga, maka si bapak dipanggil sehari-hari, "Amani Bunga". Sementara si
ibu sehari-hari dipanggil "Nai Bunga", karena anak-pertama dari
perkawinan mereka berdua diberi nama si Bunga. Semisal, sudah lahir anak
pertama dan ternyata laki-laki, namun belum diberi nama, maka secara
otomatis bernama "Ucok", sementara kalau yang lahir tersebut adalah
perempuan, otomatis bernama "Butet". Sepanjang anak pertama lahir
tersebut belum diberi nama, maka kedua orang, suami-istri tersebut akan
dipanggil Amani Ucuk/ Nai Ucok atau Amani/ Nai Butet. Di wilayah/daerah
p. Samosir hal ini dianggap sangat elementer, namun sangat penting dalam
etika berbicara, berkomunikasi dan pergaulan-bermasyarakat sehari-hari.
Orang yang memanggil orang lain dengan panggilan "gelar", merasa
menghormati orang yang bersangkutan dan orang yang dipanggil akan merasa
dihormati. Kalau sepasang suami-istri masih dalam penantian anak dari
perkawinan, maka ada dua opsi. Pertama, diberi nama yang agak abstrak,
misalnya Amani/ Nai Paima. Paima, secara harfiah berarti "menanti". Opsi
kedua, mengambil-pinjam nama anak kedua atau ketiga atau keempat dari
abang-kandung sang suami, yang belum dipergunakan oleh orang lain dalam
kerluarga dekat. Bagi kita yang sudah hidup dikota, kita dipanggil
dengan nama kecil kita, tidak masalah. Lain halnya dengan masyarakat
kampung yang masih terikat dengan nilai dan tradisi lama secara
turun-temurun. Masyarakat di kampung akan merasa plong, bebas, nyaman
dan tidak terbebani, bila memanggil seseorang dengan gelar. Contoh di
atas, Amani Bunga untuk sang bapak dan Nai Bunga untuk sang ibu.
Demikian halnya atas dua nama yang diberi koment di atas. Nai Ambaton
("panggoaran"), nama kecil ialah si Boru Anting-anting Sabungan/Boru
Paromas (puteri Guru Tatea Bulan, "mar pariban"/"sisters" dengan si Boru
Pareme). Si Boru Paromas adalah istri pertama dari Tuan Sorimangaraja
(anak dari Raja Isumbaon). Anak yg dilahirkan si Boru Paromas/Nai
Ambaton, satu, bernama Ompu Tuan Nabolon; namun ada juga penulis yang
menyebut namanya Ompu Sorbadijulu. Anak-anak O Tuan Nabolon inilah si
Bolontua (Simbolon
- seluruhnya), Tambatua - melahirkan banyak marga-marga, Saragitua -
melahirkan banyak marga-marga, dan Muntetua - yang juga melahirkan
banyak marga-marga. Jumlah marga yang termasuk dalam PARNA ada 48 marga.
Istri kedua Tuan Sorimangaraja ialah si Boru Bidinglaut, yang
kemudian "mar-panggoaran" Nai Rasaon. Melahirkan satu anak, bernama Datu
Pejel; namun ada penulis menyebut namanya Ompu Tuan Sorbadijae.
Anak-anaknya ada dua, yang lahir sekaligus dalam satu "lambutan" bernama
Raja Mangarerak dan Raja Mangatur. Pomparan Raja Mangarerak ialah
seluruhnya marga Manurung; sementara pomparan Raja Mangatur, ialah
seluruhnya marga-marga Sitorus, Sirait dan Butarbutar. Panjang
cerita/"turiturian" dibalik penyebutan 4 marga tersebut.
Istri ketiga Tuan Sorimangaraja ialah Nai Suanon/ Nai Tungkaon, nama
kecilnya ialah Boru Parsanggul Haomasan. Dalam tarombo pomparan Guru
Tateabulan, diberbagai literatur nama ini tidak tertulis. Ibu ini
melahirkan satu anak, bernama Tuan Sorbadibanua. Dari Tuan Sorbadibanua
lahir 8 anak laki-laki, no 1 si Bagotnipohan, turunannya termasuk
"Hula-hula anak manjae" SBY, keluarga Aulia Pohan. Satu lagi di antara 8
itu ada Silahi Sabungan, termasuk Letjend (Prn) TB Silalahi, anggota
Watimpres SBY. Satu lagi di antara 8 itu ialah Raja Sobu, asal dari
marga-marga Sitompul, si Raja Hasibuan kemudian (disamping masih tetap
ada Hasibuan) menurunkan marga-marga Hutabarat(si Raja Nabarat),
Panggabean (bercabang lagi dgn Simorangkir), Hutagalung, Huta Toruan
(bercabang dua yaitu marga-marga Hutapea-Tarutung/Silindung &
Lumbantobing). Catatan: ada juga Hutapea di Laguboti, tapi punya tarombo
tersendiri.
Khusus tentang turunan Ompu Tuan Nabolon, menurut kebanyakan
literatur adalah: No 1, si Bolontua (sampai sekarang masih satu) yg
disebut Simbolon, no 2, Tambatua (1 Tonggor Dolok/Rumabolon, 2 Lumban
Tongatonga, 3 Lumbantoruan), no 3, Saragitua, no 4, Muntetua. Mereka
berempat, si Bolontua, Tambatua, Saragitua dan Muntetua dilahirkan oleh 2
Ibu: pertama, boru Pasaribu, kedua boru Malau (Silau Raja). Penyebutan
nama anak-anaknya tsb oleh Ompu Tuan Nabolon pun, konon, tidak
asal-asalan tapi harus bijaksana ("wise"), seperti cerita Raja Salomo
yang bijak, karena dilahirkan oleh 2 orang istri. Ada istri pertama dan
ada istri kedua. Istilah kerennya, poligami. Sebagai perbandingan,
ingatlah Abraham. Anak-anaknya antara Ismael dgn Ishak. Yg lahir duluan,
Ismael, namun lahir dari pembantu, Hagar. Maka Ishak yang lahir dari
sang "permaisuri", yaitu Sarah, itulah yg diberkati oleh Abraham dan
Yahwe yang disembah oleh Abraham. Sekedar perbandingan saja lah.
Raja NaiAmbaton
Keturunan Raja Naiambaton dikenal sebagai keturunan yang terdiri dari berpuluh-puluh marga yang tidak boleh saling kawin
(ndang boi masiolian). Kumpulan persatuan rumpun keturunan Raja Naiambaton disebut dengan PARNA
(Parsadaan Raja Nai Ambaton). Catatan: huruf R dalam kata PARNA bukan
representasi 'raja', tapi PAR=Parsadaan ("persatuan"), NA=Nai Ambaton.
Raja Naiambaton atau yang dikenal dengan nama Tuan Sorba Dijulu
adalah salah satu dari 3 keturunan Tuan Sorimangaraja. Tuan Sorba Dijulu
merupakan cikal bakal 'parsadaan' marga-marga Batak terbesar dan
terbanyak atau yang lebih dikenal dengan keturunan Raja NaiAmbaton atau
PARNA.
Raja Naiambaton sendiri adalah gelar yang memiliki banyak arti
dikalangan masyarakat Batak terutama bagi keturunan Naiambaton sendiri.
Disatu sisi penempatan kata 'Nai' adalah untuk perempuan, dll. Namun
sama halnya dengan anak Tuan Sorimangaraja seperti Tuan Sorimangaraja
yang lain seperti Sorba Dijae (NaiRasaon), Tuan Sorba Dibanua
(NaiSuanon). Namun satu hal yang perlu ditelaah adalah kesamaan dari 3
nama ini, dari 3 nama diatas, hanya NaiAmbatonlah yang hingga saat ini
tabu untuk saling menikahi, tidak seperti keturunan NaiRasaon dan
NaiSuanon yang sudah saling 'marsiolian'. Raja dari istrinya yang
bernama NaiAmbaton dialah Tuan Sorba Dijulu, Ompu Raja Nabolon. Dengan
begitu banyak versi, bukanlah jadi masalah penamaan Raja bagi
NaiAmbaton, nama ini sudah ada sebelum saya lahir, banyak kemungkinan
bisa terjadi arti dari Raja di penamaan NaiAmbaton, mungkin saja bila
keturunan NaiRasaon tidak bisa saling menikahi, bukan tidak mungkin
hingga saat ini kita dengar parsadaan Raja NaiRasaon, atau parsadaan
Raja NaiSuanon.
Raja NaiAmbaton memiliki 5 orang putra dan 1 orang putri. Namun ke-6
anak-anak Raja NaiAmbaton ini berasal dari 2 orang istri. Dari istrinya
yang pertama, setelah menikah Raja NaiAmbaton, istri pertama lama
memiliki keturunan, lama menanti akhirnya Raja NaiAmbaton menikah
kembali, dan dari pernikahan keduanya lahirlah tanpa waktu yang lama
seorang putra pertama bagi Raja NaiAmbaton, diberilah anak tersebut
dengan nama Raja Nabolon/Si Bolon Tua. Raja Nabolon memiliki arti
tersendiri bagi Tuan Sorba Dijulu, yang merupakan kelak
keturunan-keturunannya akan menjadi besar, dan itu terbukti saat ini
keturunan Tuan Sorba Dijulu adalah keturunan kumpulan marga-marga
terbesar di marga Batak. Sejak setelah itulah Tuan Sorba Dijulu lebih
dikenal dengan nama Ompu Raja Nabolon. Kemudian dari istrinya yang kedua
kembali lahirlah seorang putri, yang diberi nama Pinta Haomasan. Di
satu sisi lama belum memiliki keturunan dari istri pertama, sedangkan
dari istri kedua sudah melahirkan 2 orang anak, mengandunglah istri
pertama Tuan Sorba Dijulu dan lahirlah seorang putra.
Kegembiraan Tuan
Sorba Dijulu dan syukur kepada Mulajadi Nabolon yang mengaruniakannya
'hagabeon' dan kelengkapan keturunan dari kedua istrinya serta menghapus
kekhawatirannya selama ini. Diberilah anak tersebut dengan nama Tamba
Tua, yang memiliki arti bertambah lengkaplah keturunannya, sedangkan
kata 'Tua' pun bagi orang Batak memiliki arti yang dalam dan bermakna.
Setelah lahirnya Tamba Tua berturut-turut istri pertama Tuan Sorba
Dijulu melahirkan kembali 3 orang putra, diberilah nama Saragi Tua,
Munthe Tua, dan Nahampun Tua.
Bagi orang Batak, anak laki-laki sulung adalah si pembawa nama bagi
keluarganya. Dan apabila laki-laki menikahi 2 orang perempuan, keturunan
dari istri pertamalah 'Raja Jolo' bagi keturunan laki-laki orang Batak
tersebut, sekalipun dari istri kedua lebih dahulu memiliki keturunan
dari istri pertama. Ini hampir terjadi dihampir semua orang Batak,
terlebih orang Batak dulu atau nenek moyang dari masing-masing marga,
hampir semua marga mengalami kisah yang sama terkait masalah ini.
Bagi Tuan Sorba Dijulu sendiri, inipun yang menjadi konflik bagi
keturunannya. Kelak ketika anak-anak Tuan Sorba Dijulu semakin besar dan
semakin mengerti akan adat budaya orang Batak, muncullah tanda tanya
didalam pikiran masing-masing. Terlebih apabila Tuan Sorba Dijulu tidak
pernah menceritakan, menyelesaikan sebelum anak-anak mereka
mempermasalahkannya.
Terjadilah konflik diantara anak-anak Tuan Sorba Dijulu, terutama
diantara sulung dari keturunan istri pertama dan kedua Tuan Sorba Dijulu
yaitu antara Bolon Tua dengan Tamba Tua, Bolon Tua yang lahir lebih
dulu dari istri kedua Tuan Sorba Dijulu telah dianggap sebagai sulung
bagi Tuan Sorba Dijulu, Bolon Tua merupakan kesayangan dari Tuan Sorba
Dijulu, kemanapun Tuan Sorba Dijulu pergi selalu mengajak anaknya Bolon
Tua baik itu 'marmahan' atau berburu dan lainnya. Tamba Tua yang merasa
bahwa dalam adat seharusnya dialah Raja Jolo karena dari istri pertama
mempertanyakan hal itu kepada Tuan Sorba Dijulu dan Bolon Tua. Hal ini
disadari setelah mereka besar dan paham akan adat budaya Batak, dimana
pasti Si Bolon Tua lah yang memperoleh jambar ataupun ulos dll dalam
acara adat. Karena perselisihan ini semakin meruncing, maka Tuan Sorba
Dijulu dengan caranya menengahi Si Bolon Tua dan Tamba Tua dengan cara
'marultop' adu ultop antara Si Bolon Tua dan Tamba Tua dengan catatan
siapa yang berdarah terkena ultop, maka dialah sianggian. Namun sebelum
adu marultop itu terjadi, Tuan Sorba Dijulu menumpulkan ultop Tamba Tua
dan membuat runcing/tajam ultop (anak panahnya) Si Bolon Tua. Mengapa
Tuan Sorba Dijulu melakukan ini...??. Ada banyak kemungkinan, karena dia
lebih menyayangi Si Bolon Tua, atau karena Si Bolon Tua adalah awal
dari hagabeoni Tuan Sorba Dijulu, atau karena malu apabila selama ini
Tuan Sorba Dijulu dianggap tidak mengerti adat karena selalu Si Bolon
Tua lah yang menerima jambar/ulos dll dalam setiap acara, atau mungkin
inilah cara yang paling tepat agar keturunannya berdamai, karena apabila
Tamba Tua terbukti siakkangan, tentu Saragi Tua, Munthe Tua, Nahampun
Tua yang umurnya jauh sekali dari Si Bolon Tua menjadi haha doli Si
Bolon Tua, dan itu tentu membuat Si Bolon Tua menjadi sedih atau mungkin
marsak atau mungkin pergi meninggalkan atau hal-hal lainnya. Kejadian
marultop ini didengar oleh Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua juga
Pinta Haomasan. Namun tak disangka, ketika Tuan Sorba Dijulu
menumpulkan ultop Tamba Tua dan membuat runcing ultop Si Bolon Tua, hal
ini dilihat oleh borunya Pinta Haomasan. Pinta Haomasan melihat semua
yang dilakukan ayahandanya Tuan Sorba Dijulu.
Terjadilah adu ultop antara Si Bolon Tua dan Tamba Tua, dimana Tamba
Tua lah yang berdarah oleh ultop Si Bolon Tua. Setelah kejadian ini,
ditemui Pinta Haomasan lah Tamba Tua, dan memberitahukan kejadian
tentang apa yang dilakukan ayah mereka Tuan Sorba Dijulu terhadap ultop
Tamba Tua. Lalu, apa alasan Pinta Haomasan memberitahukan hal itu kepada
Tamba Tua...?? Bukankah Si Bolon Tua adalah saudara satu rahim ibu
dengan Pinta Haomasan dibandingkan Tamba Tua...??. Semenjak kecil, Si
Bolon Tua selalu pergi bersama ayahnya, sedangkan Pinta Haomasan
bertugas mengurus adik-adiknya yang masih kecil termasuk Tamba Tua.
Dalam bahasa Bataknya dipatarus-tarus.
Perlu untuk kita ketahui, kejadian marultop terjadi ketika Si Bolon
Tua, Tamba Tua sudah magod
ang, termasuk Saragi Tua, Munthe Tua, dan
Nahampun Tua. Semenjak muda dan belum menikah, tidak ada permasalahan
akan siakkangan, karena sudah menikahlah baru kelihatan adat bagi orang
Batak itu. Pembagian jambar, ulos, pasu-pasu, dan yang selalu tampil
saat itu selalu Si Bolon Tua, disinilah mereka yang abang beradik itu
baru mulai mempermasalahkannya, disaat mereka mulai menyadari makna dan
mengerti adat istiadat itu sendiri, ditambah adik-adik Tamba Tua yang
juga mulai menyadari dan mengerti, lalu disampaikan pada haha dolinya
Tamba Tua untuk mempertegas masalah ini ke Tuan Sorba Dijulu. Jadi ke
lima anak Tuan Sorba Dijulu sudah marhasohotan sebelum beberapa
anak-anaknya pergi dari Pangururan termasuk borunya si Pinta Haomasan.
Kembali pada cerita sebelumnya, diceritakan Pinta Haomasan lah kepada
ibotona Tamba Tua tentang apa yang telah diperbuat ayah mereka Tuan
Sorba Dijulu. Tamba Tua merasa kecewa sekali, dan hal ini diceritakanlah
kepada adik-adiknya Saragi Tua, Munthe Tua dan Nahampun Tua. Kemudian
mereka sepakat untuk meninggalkan Pangururan. Rencana inipun didengar
oleh itonya Pinta Haomasan, dengan bersedih hati karena rencana
ito-itonya ini, Pinta Haomasan datang kerumah Tamba Tua dan membawa
sipanganon lao paborhaton ibotona, sebagai bentuk tanda kasih sayang dan
doa. Akhirnya pergilah Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun
Tua dari tanah Pangururan dengan perasaan sedih.
Disamping versi tersebut, ada versi lain yang mengatakan namun
tidaklah berbeda jauh dari kisah diatas. Dikisahkan tidak sampai terjadi
kejadian namarultop i, sebelum kejadian marultop, Pinta Haomasan sudah
lebih dahulu memberitahukan Tamba Tua apa yang telah dilakukan Tuan
Sorba Dijulu ayahanda mereka, dengan rasa kekecewaan dan sedih akhirnya
Tamba Tua dan adik-adiknya sepakat untuk pergi dari tanah Pangururan.
Lalu di versi yang lain dikatakan setelah kejadian marultop, muncul lah
perasaan dendam Si Bolon Tua terhadap Tamba Tua dimana dia telah membuat
masalah akan siakkangan, padahal saat marultop telah terbukti Tamba
Tualah yang berdarah kena ultop Si Bolon Tua, dan Si Bolon Tua berencana
membunuh Tamba Tua, namun rencana Si Bolon Tua diketahui Pinta
Haomasan, dan dengan segera Pinta Haomasan memberitahukannya pada Tamba
Tua, akhirnya Tamba Tua sepakat pergi meninggalkan tanah Pangururan
bersama adik-adiknya.
Perlu untuk kita ketahui kembali, Pinta Haomasan menikah dengan Raja
Silahi Sabungan, dan Tamba Tualah yang menikahkan Pinta Haomasan dengan
Raja Silahi Sabungan disaksikan Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun
Tua. Saat itu Si Bolon Tua terlalu sibuk dengan urusannya bersama Tuan
Sorba Dijulu marmahan, berburu, mengadu kesaktian sehingga Tamba Tualah
yang mangamai Pinta Haomasan saat itu, dimana posisi Tamba Tua sudah
menikah dengan boru Malau Pase. Namun hari-hari kegiatan Pinta Haomasan
banyak dihabiskan bersama ibotona karena Raja Silahi Sabungan yang
mengadu kesaktian di luar tanah Pangururan dan jarang kembali. Keturunan
dari Pinta Haomasan adalah Silalahi Raja. Namun setelah Silalahi Raja
besar dia tidak lagi dapat berkumpul dengan tulangnya Tamba Tua, Saragi
Tua, Munthe Tua dan Nahampun Tua dan anak-anak tulangnya, karena Tamba
Tua dan adik-adiknya serta keturunannya sudah pergi dari tanah
Pangururan, sehingga hanya tinggal Si Bolon Tua dan keturunannya lah
yang tinggal di tanah Pangururan. Oleh karena itu, Silalahi Raja
menikahi boru tulangnya dari Si Bolon Tua, dan itu terjadi piga-piga
sundut mangalap boru tulangna Si Bolon Tua. Karena sudah beberapa sundut
mengambil boru tulangnya dari Si Bolon Tua, maka dikatakanlah Silalahi
Raja boru sihabolonan ni Simbolon, karena sudah mengambil dari atas boru
Simbolon. Selebihnya pihak Silalahi Raja lah yang lebih mengetahuinya.
Akhirnya Tamba Tua dan adik-adiknya menemukan tanah baru yang cocok
untuk ditempati bersama semua keturunannya dan keturunan adik-adiknya,
diberilah nama huta itu huta Tamba. Disinilah dimulai parserahan
marga-marga mayoritas PARNA. Setelah menempati kampung yang baru dan
membangun kampung tersebut, Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua, dan
Nahampun Tua sepakat untuk menghambat Si Bolon Tua. Tamba Tua di huta
Tamba-Samosir, Saragi Tua pergi ke Simalungun, Munthe Tua ke tanah Karo,
dan Nahampun Tua ke Dairi. Namun belum diketahui apakah turut serta
membawa keturunannya, namun berdasarkan tano parserahan marga-marga
PARNA keturunan Saragi Tua, Munthe Tua, Nahampun Tua, keturunannya ada
yang ikut dan ada yang tidak ikut. Saragi Tua memiliki 2 anak, Ompu Tuan
Binur dan Raja Saragi, Saragi Tua membawa Raja Saragi ke tanah
Simalungun sedangkan Ompu Tuan Binur tinggal di huta Tamba. Setelah tiba
di tanah Simalungun, Raja Saragi menikah di tanah Simalungun dan
memiliki keturunan, lama di tanah Simalungun Saragi Tua memutuskan
kembali ke kampungnya di huta Tamba, namun Raja Saragi tidak ingin lagi
kembali ke huta Tamba, tetapi salah satu keturunan Raja Saragi ikut
bersama opungnya Saragi Tua kembali ke huta Tamba. Keturunan Raja Saragi
yang tinggal di tanah Simalungun ini diketahui adalah cikal bakal marga
Sumbayak, dan yang kembali ke huta Tamba adalah cikal bakal marga
Sidabukke yang kemudian merantau ke Simanindo yang saat ini mayoritas
bukanlah bagian dari punguan Parna lagi karena kejadian dimana cucu dari
Raja Saragi yang bernama Raja Sinalin yang dari huta Tamba merantau ke
Simanindo Sibatu-batu menikahi itonya sendiri boru Napitu. Dan hingga
saat ini sudah banyak Sidabukke menikahi boru Parna, dan marga Parna
sendiri menikahi boru Sidabukke, hanya minoritas yang mengatakan masih
Parna. Mengapa begitu…?? Ini ada kisahnya sendiri mengapa sampai masih
ada minoritas Sidabukke yang mengatakan Parna, akan dibahas di lain
kesempatan. Ketika Saragi Tua kembali ke huta Tamba, keturunannya sudah
merantau dari huta Tamba, dan menemukan tanah baru yang kelak dinamakan
Huta Simarmata.
Lalu Munthe Tua dan anak seorang anaknya ikut ke tanah Karo, anak
dari Munthe Tua ini diketahui adalah Ompu Jelak Karo yang akhirnya tidak
mau kembali dan menetap di tanah Karo. Anak dari Munthe Tua sendiri ada
tiga, Raja Sitempang, Ompu Jelak Maribur, dan Ompu Jelak Karo. Namun
yang ikut ke huta Tamba hanyalah Ompu Jelak Maribur dan Ompu Jelak Karo,
namun karena Ompu Jelak Karo mengikuti Munthe Tua ke tanah Karo namun
enggan kembali, yang kembali hanya Munthe Tua ke tanah Tamba dan
tinggalah Ompu Jelak Maribur beserta keturunannya. Lalu bagaimana dengan
anaknya yang pertama Raja Sitempang…??
Raja Sitempang tidak ikut Munthe Tua dari tanah Pangururan ke huta
Tamba disebabkan ketika Raja Sitempang lahir, Munthe Tua langsung
mengasingkan Raja Sitempang jauh ke pusuk buhit, tidak ada yang tau akan
hal ini. Sehingga ketika kejadian namarultop Raja Sitempang tidak tahu
menahu akan hal tersebut. Sedikit tentang Raja Sitempang, Raja Sitempang
diasingkan ke pusuk buhit, Raja Sitempang tidak tau sama sekali apa
yang terjadi di kampung halamannya di Pangururan. Baik itu kejadian
ultop, menikahnya namboru Pinta Haomasan dll. Raja Sitempang diasingkan
oleh karena (sattabi sangap di ompui) cacat fisik yang dideritanya. Lama
diasingkan dipusuk buhit, Raja Sitempang bertemu dengan seorang gadis
yang juga ternyata diasingkan orangtuanya, gadis ini memiliki nasib yang
sama dengan Raja Sitempang yang cacat fisik, Raja Sitempang tidak
mengetahui siapa gadis ini yang adalah anak dari namboru kandungnya
Pinta Haomasan, begitu juga dengan gadis tersebut tidak mengetahui Raja
Sitempang adalah anak dari tulangnya Munthe Tua. Karena saling tidak
mengetahui siapa masing-masing diri mereka, yang sebenarnya mereka ada
sepupu kandung akhirnya mereka saling mengasihi dan menikah, namun tidak
ada keturunan yang dihasilkan dari pernikahan ini. Dalam hal ini, Raja
Sitempang satu level dengan Si Boru Marihan, yang adalah nama si gadis
tersebut. Lama dipusuk buhit, tanpa ada yang tau persis penyebabnya,
diketahui Raja Sitempang kembali normal seperti manusia biasanya.
Dikatakan dia bersemedi di pusuk buhit meminta pada Mulajadi Nabolon
untuk kesembuhannya dan Mulajadi Nabolon mengabulkannya. Bukan hanya
sembuh, Raja Sitempang juga memiliki cukup kesaktian dalam dirinya.
Setelah kenormalan fisik Raja Sitempang, dia memutuskan kembali ke
kampung halamannya ke tanah Pangururan. Tanah Pangururan yang
didatanginya tidak sama dengan tanah Pangururan yang telah lama
ditinggalkannya, dia tidak lagi menemukan Munthe Tua, bapatuanya Saragi
Tua, Tamba Tua dan bapaudanya Nahampun Tua yang dia temui hanyalah
keturunan dari Si Bolon Tua.
NB : kisah Si boru Marihan pun masih menjadi simpang siur bila
dikaitkan dengan versi Silalahi, namun kisah di atas diambil dari versi
Sitanggang. Mohon maaf apabila dari pihak Silalahi menganggap ini salah,
karena pada dasarnya penulis mengambil hanya mengaitkan dari versi
Sitanggang saja. Dalam satu versi Raja Sitempang dan Siboru Marihan
tidak memiliki anak, disatu sisi memiliki anak yang bernama Raja
Hatorusan bukan Raja Natanggang.
Nahampun Tua pergi ke Dairi, diketahui hanya Nahampun Tualah yang
tidak kembali lagi ke huta Tamba, Nahampun Tua lama dan menetap di
Dairi. Namun ada 2 versi yang mengatakan, keturunan Nahampun Tua adalah
si Onom Hudon, namun versi yang lebih sering diceritakan adalah Nahampun
Tua tidak berketurunan anak laki-laki, hanya anak perempuan saja. Di
tanah Dairi Nahampun mewariskan warisan, namun karena tidak memiliki
anak laki-laki hanya anak perempuannyalah yang mengurus, atau bahkan
rumah/tanah Nahampun Tua di Dairi tidak ada yang mengurus. Lama puluhan
tahun kemudian, datanglah anak rantau ke tanah Dairi, Raja Huta setempat
tentu menanyakan siapa gerangan anak rantau ini, setelah diketahu
bahwasanya anak rantau ini adalah keturunan Si Bolon Tua maka Raja Huta
pun mengatakan bahwa di tanah Dairi ini ada peninggalan opung anak
rantau ini, opung yang adalah adik dari opung mereka Si Bolon Tua, dan
Raja Huta mengatakan agar anak rantau ini menempati tanah warisan dan
peninggalan Nahampun Tua. Diketahui anak rantau ini adalah keturunan Si
Bolon Tua dari Tuan Nahoda Raja yang bernama Tuan Seul. Akhirnya Tuan
Seul tinggal dan menetap di tanah Dairi, dan memiliki 7 keturunan anak
laki-laki, diantaranya Simbuyak-buyak (meninggal), Tinambunan,
Tumanggor, Maharaja, Turutan, Pinayungan dan Nahampun. Alasan Tuan Seul
memberikan nama anak bungsu laki-lakinya Nahampun adalah sebagai bentuk
penghormatan dan mengenang Nahampun Tua, karena saat ini Tuan Seul lah
yang menempati dan menggunakan warisan serta peninggalan Nahampun Tua di
tanah Dairi.
Namun tidak dapat dipastikan berapa lama Saragi Tua di Simalungun dan
kembali ke huta Tamba, Munthe Tua di tanah Karo dan kembali ke huta
Tamba, juga Nahampun Tua di tanah Dairi.
Dari kisah ultop diatas, adanya kata sepakat Simbolon Tua adalah haha
doli Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua dan Nahampun Tua, sebab itulah
poda ni da ompung Ompu Raja Nabolon, dipillit ompung i do Si Bolon Tua
gabe Raja Jolona, Ido umbahen goar ni Tuan Sorba Dijulu ima Ompu Raja
Nabolon.
Kembali pada kisah Raja Sitempang…
Raja Sitempang pulang ke tanah Pangururan dan tidak menemukan
keluarganya, akhirnya Raja Sitempang memutuskan untuk mencari sembari
mengadu kesaktian karena Raja Sitempang saat ini adalah seorang yang
memiliki kesaktian dan tidak bercacat fisik seperti dulu ketika
diasingkan. Ketika Raja Sitempang pulang ke tanah Pangururan, dia hanya
dapat menemukan keturnan Si Bolon Tua yaitu Tuan Nahoda Raja yang adalah
anak abangnya Suri Raja. Perbedaan umur Suri Raja dengan Raja Sitempang
cukup jauh, dikarenakan Si Bolon Tua yang lahir lebih dulu jauh
dibandingkan Munthe Tua, kemudian Raja Sitempang yang lama menikah
karena lama diasingkan ke pusuk buhit mengakibatkan ketertinggalan umur
yang cukup jauh.
Pergilah Raja Sitempang memulai perjalanannya, lama mencari namun tak
kunjung dia temukan, alhasil tibalah Raja Sitempang di sebuah kampung
di Dairi dikampung marga Mataniari, disana dia dijamu dan mengobati
orang-orang yang sakit juga membela kampung tersebut dari peperangan
(banyak cerita dan versi terkait ini). Karena jasanya, dan keakrabannya
hal yang lumrah dijaman dulu adalah memberikan putri dari Raja Huta
tersebut untuk dinikahi, disinilah Raja Sitempang menikahi si boru Porti
Mataniari. Dalam versi Sitanggang, Tuan Sorba Dijulu digelari Datu
Sindar Mataniari yang nama tersebut adalah nama ciri khas dari daerah
Dairi, adapun gelar tersebut karena jasa-jasa yang telah dilakukan Raja
Sitempang terhadap kampung tersebut, maka Raja Mataniari pun mengatakan
Raja Sitempang adalah anak dari seorang datu yang hebat, muncullah gelar
Datu Sindar Mataniari, keturunan datu (dukun) yang memberikan sinar
pada kampung Mataniari (sinar disini adalah keberuntungan). Dinikahilah
si boru Porti Mataniari, dan dibawa Raja Sitempang ke kampung
halamannya. Raja Sitempang pun memutuskan menghentikan pencarian karena
lama sudah tidak ditemukannya. Raja Sitempang sendiri setelah menikah
dan mengetahui adat istiadat menyadari kalau dari ibu, mereka lebih
sulung dibandingkan keturunan Si Bolon Tua, disinilah kemudian banyak
muncul versi kembali. Apakah Raja Sitempang tidak mau membuka adat
istiadat yang sudah terbiasa dilakukan apalagi setelah lama dia
diasingkan ke pusuk buhit dan lama tidak kembali ke tanah Pangururan,
dan versi dimana namborunya Pinta Haoamasan telah menceritakan kejadian
yang terjadi di tanah Pangururan yang membuat Raja Sitempang pergi
mencari ayahandanya. Karena itu Raja Sitempang tidak mau mengungkit
kembali.
Di tanah Pangururan, si boru Porti Mataniari melahirkan seorang anak
laki-laki yang diberi nama Raja Natanggang, disamping disaat itu di
Pangururan Tuan Nahoda Raja pun sudah menikah dengan boru Tobing dan
melahirkan anak laki-laki selang beberap tahun setelah Raja Natanggang
lahir. Raja Natanggang bertumbuh besar dan menikahi boru Naibaho anak
dari Raja Naibaho yang juga adalah penguasa di Pangururan (perlu kita
ketahui, Pangururan itu besar dan luas). Raja Naibaho ini memiliki 2
orang putri, putri pertamanya dinikahi oleh Raja Natanggang. Setelah
itu, anak Tuan Nahoda Raja menikahi boru Naibaho yang adalah adik
kandung dari istri Raja Natanggang. Disini anak Tuan Nahoda Raja menjadi
naik satu level dengan Raja Natanggang. Karena dari umur dan dari
parparibanan, Raja Natanggang adalah abang dari anak Tuan Nahoda Raja
ini. Tuan Nahoda Raja adalah siakkangan keturunan dari Simbolon Tua.
Karena terbiasa selama ini jambar, ulos, pasu-pasu, yang selalu tampil
dll diberikan terlebih dahulu kepada Simbolon Tua dan keturunannya, maka
semenjak parpariban ini itu dipertanyakan Raja Natanggang, bagaimana
bisa adiknya yang manjalo jambar dohot akka na asing…??. Ditambah Raja
Natanggang tahu kalau dari parsonduk ni da opung Tuan Sorba Dijulu
mereka dari istri pertama. Namun keturunan Simbolon Tua tidak menerima
itu, disebabkan adat istiadat yang telah terbiasa dilakukan merekalah
yang selalu menerima. Keturunan dari adik-adik Tuan Nahoda Raja protes
kepada abang mereka, dan karena Tuan Nahoda Raja adalah sulung dari
keturunan Simbolon Tua maka anak Tuan Nahoda Raja wajib menyampaikannya
kepada Raja Natanggang. Perbedaan pendapat pun terjadi, hingga sampai ke
telinga hula-hula Naibaho yang mertua dari Raja Natanggang dan anak
Tuan Nahoda Raja ini. Dengan fungsinya sebagai hula-hula, siboan dame,
akhirnya kata damai lah yang diberikan sang mertua Raja Naibaho kepada
kedua helanya agar tidak mempermasalahkan masalah tersebut, karena Raja
Naibaho tau disatu sisi Raja Natanggang adalah siakkangan dari
parparibanan, disatu sisi anak Tuan Nahoda Raja adalah siakkangan bila
dilihat dari keturunan dan poda ni Ompu Raja Nabolon, maka keluarlah
istilah Ipar-Ipar Partubu, rap marsihahaan rap marsianggian. Karena dari
leluhur mereka dekat, namun kedekatan itu dipererat dengan sama-sama
menikahi boru Naibaho, marabang ma anak ni Tuan Nahoda Raja tu Raja
Natanggang, alana siakkangan pinompar ni Simbolon Tua manjou abang tu
Raja Natanggang, gabe dohot ma akka angina manjou abang tu Raja
Natanggang. Dan itu menjadi terbiasa hingga turun-temurun di kedua marga
itu, untuk itu bila di Pangururan lebih digunakan istilah ise do
parjolo tubu ima siakkangan sian ise parpudi tubu, marabang molo tu ise
naparjolo tubu. Sama seperti di jaman sekarang, ada marga Napitu
menikahi boru Damanik, dan marga Sidabutar menikahi boru Damanik yang
adalah adik kandung dari boru Damanik yang dinikahi marga Napitu, dalam
tutur Sidabutar tentu memanggil abang ke marga Napitu. Hal ini hamper
banyak kita temui di lingkungan kekerabatan orang Batak.
Di satu sisi dari berbagai macam versi, ada juga yang mengatakan Raja
Sitempang itu adalah gelar dari Munthe Tua, dimana Raja Natanggang
adalah pahompunya, versi lain mengatakan Raja Sitempang adalah anak Tuan
Sorba Dijulu, hanya saja dalam versi ini (versi Sitanggang) tidak ada
Raja Batak, yang paling atas adalah Tuan Sorimangaraja dengan 2 anaknya
Raja Isumbaon dan Guru Tatea Bulan, Raja Isumbaon memiliki 3 orang anak
yaitu Tuan Sorba Dijulu (Datu Sindar Mataniari), Tuan Sorba Dijae, Tuan
Sorba Dibanua. Tuan Sorba Dijulu memiliki 3 anak, Guru Sodungdangon
(yang tidak jelas kisahnya), Raja Sitempang dan Raja Nabolon. Namun di
Munas Sigalingging dimana Sigalingging adalah marga manjae Raja
Sitempang memiliki silsilah yang berbeda dengan versi Sitanggang itu
sendiri, namun sama dengan versi Parna pada umumnya, namun menjelang
tahun 2005 keatas versi mereka bergeser mengikuti Sitanggang, dan
direncanakan akan ada Re-Silsilah dan mengadakan Munas kedua kali di
tahun 2017 mendatang (menurut info yang diketahui).
Hal ini memiliki keterkaitannya dengan Kapala-Kapala Nagari pemberian
Belanda yang datang ke Samosir dengan mengumpulkan Raja-Raja Bius/Huta
di Pangururan, namun ada Raja-Raja yang datang ada juga yang tidak
bersedia datang namun tanpa sepengetahuan si Raja, adiknya mewakili dan
lain-lainnya. Disinilah dimulainya orang Batak melek teknologi dan
mengalami kemajuan, karena Raja-Raja yang datang tersebut selain diberi
wilayah kekuasaan dan gelar Kapala Nagari, mereka juga diajarkan baca
tulis dan pengetahuan lainnya seperti bercocok tanam yang baik, membuat
keterampilan dan lain-lain, itu dapat kita lihat dimana ada marga-marga
Batak yang maju, contohnya di Parna itu sendiri, marga-marga Simbolon
dan Sitanggang adalah marga-marga yang orang-orangnya lebih dulu maju,
terlihat dari jabatan, prestasi dan kemampuan mereka di berbagai bidang
profesi. Karena sifat orang Batak, melihat dongan tubuna sukses, agar
dapat dibantu terjadilah perubahan tutur, ini juga turut mempengaruhi,
karena sukses dan agar dibantu yang butuh bantuan memanggil abang kepada
yang sukses, dan yang sukses karena merupakan satu keuntungan terlepas
dia tau partuturan atau tidak mereka biasanya hanya diam. Banyak sekali
terjadi perubahan karena faktor politik (Kapala Nagari), ekonomi, status
sosial dan lain-lain. Karena faktor-faktor tersebut dan semakin
modernnya jaman, tidak lagi mempedulikan yang namanya partuturan yang
penting asal bisa makan saja dulu. Namun lambat laun kemajuan teknologi
itu akan merata, akan muncul orang-orang hebat dan sukses dari
marga-marga yang jarang tampil di depan publik, dan mereka biasanya
lambat laun memahami, menyadari adanya perubahan yang terjadi, sekalipun
orang-orang tua telah menganut paham yang keliru dijaman mereka karena
faktor kebutuhan untuk hidup di tanah perantauan. Ini akan dijelaskan di
kisah Kapala Nagari di Tanah Batak.
Nai Rasaon
Nai Rasaon adalah kelompok marga-marga dari suku bangsa Batak Toba
yang berasal dari daerah Sibisa. Marga-marga keturunan Nai Rasaon adalah
Manurung, Sitorus (menurunkan Pane, Dori, Boltok), Sirait, Butarbutar.
Si Raja Batak adalah S-1, Raja Isumbaon - setaraf dengan Guru Tatea
Bulan adalah S-2, maka Tuan Sorimangaraja (anak Raja Isumbaon) adalah
S-3. Dari Ibu, Nai Rasaon (nama kecil: si Boru Bidinglaut, Istri II Tuan
Sorimangaraja (S-3)/Anak no. 2 Ompu Raja Isumbaon (S-2)) beranak satu,
yaitu Datu Pejel/Ompu Tuan Sorbadijae. (S=Sundut/generasi). Datu Pejel,
dua anaknya sekali lahir (kembar-dua), namun tidak sebagaimana umumnya
lahir kembar secara satu per satu, melainkan lahir kembar-dua di dalam
satu "lambutan". Yang dimaksud lambutan, barangkali adalah jaringan
selaput yang membungkus bayi ketika di dalam kandungan. Pada waktunya
yang tepat dikemudian hari diberi nama: Raja Mangarerak dan Raja
Mangatur si "Dua-sahali tubu". Pomparan Raja Toga Manurung berkembang
dari Raja Mangarerak; Sementara pomparan Raja Toga Sitorus, Raja Toga
Sirait dan Raja Toga Butarbutar berkembang dari Raja Mangatur. Meski
empat marga ini sesungguhnya berasal dari satu Ompu, Datu Pejel, namun
umumnya, berawal dari wilayah Porsea ke-empat marga ini sudah saling
kawin-mawin. Maka prinsip satu keluarga besar "na so boi mar-si-oli-an"
telah ditinggalkan. Proses ini diperkirakan sudah dimulai sejak 5 - 6
generasi sebelum generasi yang sekarang, atau kira-kira 200 tahun yl,
sedangkan di wilayah asal/asli Sibisa dan Ajibata perasaan bersaudara
itu masih kental. Namun di wilayah Ajibata, antara Sirait dan Manurung,
pada generasi yang sekarang, telah ada yang memulai kawin-mawin.
Sementara antara Sirait terhadap Sitorus dan Butarbutar belum ada yang
memulai, tetapi di daerah perantauan seperti di pulau Jawa telah ada yang merintis.
Tuan Sorbadibanua
Tuan Sorbadibanua mempunyai 8 (delapan) putra, yaitu:
- Sibagotnipohan
- Sipaettua(Pangulu Ponggok, Partano Nai Borgin,Puraja Laguboti(Pangaribuan,Hutapea)
- Silahisabungan
- Raja Oloan
- Raja Hutalima
- Raja Sumba
- Raja Sobu
- Raja Naipospos
Sibagotnipohan
Sibagotnipohan sebagai cikal-bakal marga Pohan mempunyai 4 (empat) putra, yaitu:
- Tuan Sihubil, sebagai cikal-bakal marga Tampubolon dan cabang-cabangnya
- Tuan Somanimbil, sebagai cikal-bakal marga Siahaan, Simanjuntak, dan Hutagaol
- Tuan Dibangarna, sebagai cikal-bakal marga Panjaitan, Silitonga, Siagian, Sianipar, dan cabang-cabangnya
- Sonak Malela, menurunkan marga Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, dan Pardede
Sipaettua
Marga-marga keturunan Sipaettua, antara lain:
Hutahaean, Hutajulu, Aruan,
Sibarani, Sibuea, Pangaribuan, dan Hutapea
Silahisabungan
Tarombo Sidabutar versi Pitu Raja Ambarita.
Delapan Anak Keturunan Silahisabungan dari 2 istri yakni:
Istri Pertama, Pingganmatio Padangbatanghari, anaknya:
- Loho Raja (Sihaloho)
- Tungkir Raja (Situngkir)
- Sondi Raja (Rumasondi)
- Butar Raja (Sidabutar)
- Debang Raja (Sidebang)
- Bariba Raja (Sidabariba)
- Batu Raja (Pintubatu)
- Tambun Raja Alias Raja Itano Alias Raja Tambun (Tambun, Tambunan, Daulay); anak dari istri keduanya, Sinailing Nairasaon.
Selain marga pokok di atas masih ada lagi marga marga cabang
keturunan Silahisabungan, yakni Sipangkar, Sembiring, Sipayung,
Silalahi, Dolok Saribu, Sinurat, Nadapdap, Naiborhu, Maha, Sigiro, dan
Daulay.
Versi lain yang menunjukkan ke eksistensi-annya dan tidak terpungkiri
dengan fakta-fakta yang ada dilapangan maupun silsilah dan pesan
orangtua-orangtua terdahulu hingga 4 generasi adalah keturunan
Silahisabungan mempunyai Sembilan Keturunan (tanpa menghilangkan marga
saudara yang lain), Ompu Silahisabungan mempunyai 3(tiga) Istri yakni:
Istri Pertama, Pintahaomasan boru baso bolon, anaknya:
1. Silahi Raja (Silalahi)
Istri Kedua, Pinggan matio boru Padang batanghari, anaknya:
1. Loho Raja ( Sihaloho) 2. Tungkir Raja ( Situngkir) 3.
Sondi Raja (Rumasondi) 4. Butar Raja (Sinabutar) 5. Bariba
Raja (Sidabariba) 6. Debang Raja (Sidebang) 7. Batu Raja
(Pintu Batu)
Istri Ketiga, Milingiling boru Mangarerak, anaknya:
1. Raja Tambun (Tambunan)
Silahi Raja (Silalahi) memperanakkan: 1. Siraja Tolping 2. Bursok Raja 3. Raja Bunga-bunga
Dari istri pertama Pinta Haomasan boru Baso Nabolon
[1],
Sauhut (saudara) marga Bolon Tua, Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua
lahirlah Silalahi Raja. “Dari Silalahi Raja ini lahirlah 3 putra yakni
Raja Tolping Silalahi, Bursok Raja Silalahi/Pangururan, Raja Bunga-bunga
Silalahi/Parmahan di Balige. Keturunan marga Bolon Tua bersaudara di
atas,sampai saat ini konsisten dalam pelaksanaan adat yang menyebut
Silalahi Raja sebagai boru Sihabolonan.
Raja Oloan
Raja Oloan mempunyai 6 (enam) orang putra, yaitu:
- Naibaho yang merupakan cikal-bakal marga Naibaho dan cabang-cabangnya.
- Sigodang Ulu yang merupakan cikal-bakal marga Sihotang dan cabang-cabangnya.
- Bakara yang merupakan cikal-bakal marga Bakara.
- Sinambela yang merupakan cikal-bakal marga Sinambela.
- Sihite yang merupakan cikal-bakl marga Sihite.
- Manullang yang merupakan cikal-bakal marga Manullang.
Raja Hutalima
Raja Hutalima tidak mempunyai keturunan.
Raja Sumba
Tarombo Silaban, Suku Batak Toba.
Raja Sumba mempunyai 2 (dua) orang putra, yaitu:
- Simamora, yang merupakan cikal-bakal marga Purba, Manalu, Simamora Debata Raja, dan Rambe.
- Sihombing, yang merupakan cikal-akal marga Silaban, Sihombing Lumban Toruan, Nababan, dan Hutasoit.
Raja Sobu
Marga-marga keturunan Raja Sobu, antara lain: Sitompul dan si Raja
Hasibuan. Dari si Raja Hasibuan berkembang lagi, yang tetap tinggal di
Toba tetap Hasibuan, sedang "pomparan" Ompu Guru Mangaloksa yang
merintis hidupnya ke wilayah Silindung, anak-anaknya berkembang menjadi
si Raja Nabarat (Hutabarat), si Raja Panggabean (cabangnya,Simorangkir),
si Raja Hutagalung dan si Raja Hutatoruan. Si Raja Hutatoruan dua
anaknya, itulah Hutapea (Silindung/Tarutung, beda dari Hutapea -
Toba/Laguboti), dan Lumbantobing (biasa disingkat L.
Tobing=Lumbantobing). Marga-marga tsb (di luar marga Hasibuan), secara
"specific" pomparan Guru Mangaloksa dinamai "Pomparan ni si Opat
Pu(i)soran". Mana ejaan yang benar dalam bahasa Batak, antara Pusoran
atau Pisoran, entahlah. Marga-marga tersebut di atas masih tetap alias
belum bercabang hingga sekarang. Kecuali pencabangan untuk tujuan
penyebutan internal, semisal Hutabarat. Ada Hutabarat Sosunggulon,
Hutabarat Hapoltahan, Hutabarat Pohan. Dari tataran ini barulah dibagi
lagi menjadi "mar-ompu-ompu". Sebagai catatan, khusus dari pomparan Guru
Mangaloksa, setiap anggota marga-marga tersebut mengingat nomornya
masing-masing, termasuk Boru. Semisal di Hutabarat, berkenalan seorang
Hutabarat dengan seorang lain Hutabarat. Tidak lagi ditanya, Hutabarat
Sosunggulon? atau Hapoltahan? atau Pohan? dst. Tetapi langsung ditanya,
"nomor berapa"?, termasuk Boru. Sehingga masing-masing tahu "standing
position", memanggil abang/adik, bapatua/bapauda, dst, termasuk "tutur"
untuk Boru. Hal seperti ini perlu dicontoh karena dapat memotivasi orang
lain mencari asal usul ("identitas") "ha-batahonna", tentu setelah
indentitas keyakinan dan kepercayaan masing-masing individu.
Raja Naipospos
Raja Naipospos mempunyai 5 (lima) orang putra yang secara berurutan, yaitu:
- Donda Hopol yang merupakan cikal-bakal marga Sibagariang.
- Donda Ujung yang merupakan cikal-bakal marga Hutauruk.
- Ujung Tinumpak yang merupakan cikal-bakal marga Simanungkalit.
- Jamita Mangaraja yang merupakan cikal-bakal marga Situmeang.
- Marbun yang merupakan cikal-bakal marga Marbun Lumban Batu, Marbun Banjar Nahor, Marbun Lumban Gaol.
Padanan atau janji antar marga (Janji Matogu)
Dalam suku bangsa Batak, selain marga yang satu nenek moyang (satu
marga) ditabukan untuk saling kawin, dikenal juga padan (janji atau
ikrar) antar marga yang berbeda untuk tidak saling kawin. Marga-marga
tersebut sebenarnya bukanlah satu nenek moyang lagi dalam rumpun
persatuan atau pun paradaton, tetapi marga-marga tersebut telah diikat
padan (janji atau ikrar) agar keturunan mereka tidak saling kawin oleh
para nenek moyang pada zaman dahulu. Antar marga yang diikat padan itu
disebut dongan padan.
Marga-marga yang mempunyai padan khusus untuk tidak saling kawin, antara lain:
- Manurung dengan Simamora (Debata Raja)
- Sihotang dengan Naipospos (Marbun)
- Naibaho dengan Sihombing Lumban Toruan
- Nainggolan dengan Siregar
- Tampubolon dengan Silalahi
- dan lain sebagainya
Sihotang dengan Naipospos (Marbun)
Seluruh keturunan Raja Naipospos diikat janji (padan) untuk tidak
saling kawin dengan keturunan Raja Oloan yang bermarga Sihotang.
Sehingga Sihotang disebut sebagai dongan padan. Memang pada awalnya
pembentuk janji ini adalah Marbun. Namun ditarik suatu kesepakatan
bersama bahwa keturunan Raja Naipospos bersaudara (na marhahamaranggi)
dengan keturunan Sihotang. Hal ini dapat dilihat bersama bahwa hingga
saat ini seluruh marga Naipospos Silima Saama
(Sibagariang-Hutauruk-Simanungkalit-Situmeang-Marbun) tidak ada yang
kawin dengan marga Sihotang.
Pengalaman di lapangan bahwa memang ada-ada saja orang yang
mempersoalkan padan ini. Mereka mengatakan bahwa hanya Marbun sajalah
yang marpadan dengan Sihotang tanpa mengikutsertakan Sibagariang,
Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang. Perlu diketahui bersama bahwa
telah ada ikrar (padan) para nenek moyang (ompu) bahwa padan ni hahana,
padan ni angina; jala padan ni angina, padan ni hahana (ikrar kakanda
juga ikrar adinda dan ikrar adinda juga ikrar kakanda). Benar Marbunlah
pembentuk padan pertama terhadap Sihotang. Tetapi oleh karena Marbun
sebagai anggi doli Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang,
maka turut juga serta dalam padan dengan Sihotang. Contoh lain dapat
pula dilihat bersama bahwa sesungguhnya Sibagariang tidaklah ada ikrar
(padan) sama sekali untuk tidak saling kawin (masiolian) dengan Marbun.
Tetapi oleh karena Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang marpadan
dengan Marbun untuk tidak saling kawin maka Sibagariang pun turut serta
dengan sendirinya oleh karena ikrar (padan) para nenek moyang (ompu)
yang telah disebutkan di atas. Sehingga suatu padan yang umum bahwa
keturunan Raja Naipospos dari istri I (Sibagariang, Hutauruk,
Simanungkalit, dan Situmeang) tidak boleh saling kawin dengan keturunan
Raja Naipospos dari istri II (Marbun).
Demikian pula halnya seluruh marga-marga keturunan Raja Napospos
(Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun Lumban Batu,
Marbun Banjar Nahor, dan Marbun Lumban Gaol) tidak boleh saling kawin
dengan keturunan Sihotang.