Sunday 28 February 2016

Suku Batak

Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Pantai Barat dan Pantai Timur di Provinsi Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.

Saat ini pada umumnya orang Batak menganut agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik. Tetapi ada pula yang menganut kepercayaan tadisional yakni: tradisi Malim dan juga menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.

Tokoh Batak 2.jpg
Tokoh-tokoh dari suku Batak
Amir Sjarifoeddin, Abdul Haris Nasution, Burhanuddin Harahap, Adnan Buyung Nasution, TB Simatupang, Sitor Situmorang
(dari kiri ke kanan)
Jumlah populasi
6.076.440 jiwa (Sensus 2000)[1]
Kawasan dengan konsentrasi signifikan
Sumatera Utara 4.827.000
Riau 347.000
Jakarta 301.000
Jawa Barat 275.000
Sumatera Barat 188.000
Bahasa
Angkola
Karo
Mandailing
Pakpak
Simalungun
Toba
Agama
Islam 65,46 %
Protestan 26,62%
Katolik 4,78% [2]
Parmalim
Animisme
Kelompok etnik terdekat
Suku Alas
Suku Nias
Suku Melayu
Suku Minangkabau
Suku Bugis
Suku Dayak
Suku Rimba
Suku Gayo
Suku Singkil
Suku Aceh
Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia. Nama ini merupakan


Sejarah

Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia namun tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu pada zaman batu muda (Neolitikum). Peter Bellwood, Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago, Revised edition, University of Hawaii Press, Honolulu, 1997]</ref>Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara pada zaman logam.

Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera[3]. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal[4].
Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.
Mayoritas orang Batak menganut agama Kristen dan sisanya beragama Islam. Tetapi ada pula yang menganut agama Malim dan juga menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.

Identitas Batak

R.W Liddle mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatra bagian utara tidak terdapat kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren. Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi sosial di daerah itu hanya terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan, atau antar kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari satuan-satuan sosial dan politik yang lebih besar.[5] Pendapat lain mengemukakan, bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak baru terjadi pada zaman kolonial.[6] Dalam disertasinya J. Pardede mengemukakan bahwa istilah "Tanah Batak" dan "rakyat Batak" diciptakan oleh pihak asing. Sebaliknya, Siti Omas Manurung, seorang istri dari putra pendeta Batak Toba menyatakan, bahwa sebelum kedatangan Belanda, semua orang baik Karo maupun Simalungun mengakui dirinya sebagai Batak, dan Belandalah yang telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok tersebut. Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa Pusuk Buhit, salah satu puncak di barat Danau Toba, adalah tempat "kelahiran" bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos tersebut juga menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari Samosir.

Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra. Penelitian penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk menguasai Barus.[7]

Penyebaran agama

Kabupaten-kabupaten di Sumatera Utara yang diwarnai, memiliki mayoritas penduduk Batak.

Masuknya Islam

Dalam kunjungannya pada tahun 1292, Marco Polo melaporkan bahwa masyarakat Batak sebagai orang-orang "liar" dan tidak pernah terpengaruh oleh agama-agama dari luar. Meskipun Ibn Battuta, mengunjungi Sumatera Utara pada tahun 1345 dan mengislamkan Sultan Al-Malik Al-Dhahir, masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh pedagang Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang melakukan kawin-mawin dengan perempuan Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatakan pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat Batak.[8] Pada masa Perang Paderi di awal abad ke-19, pasukan Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran atas masyarakat Mandailing dan Angkola.[9] Kerajaan Aceh di utara, juga banyak berperan dalam mengislamkan masyarakat Karo dan Pakpak. Sementara Simalungun banyak terkena pengaruh Islam dari masyarakat Melayu di pesisir Sumatera Timur

Misionaris Kristen

Batak.png
Pada tahun 1824, dua misionaris Baptist asal Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward berjalan kaki dari Sibolga menuju pedalaman Batak.[10] Setelah tiga hari berjalan, mereka sampai di dataran tinggi Silindung dan menetap selama dua minggu di pedalaman. Dari penjelajahan ini, mereka melakukan observasi dan pengamatan langsung atas kehidupan masyarakat Batak. Pada tahun 1834, kegiatan ini diikuti oleh Henry Lyman dan Samuel Munson dari Dewan Komisaris Amerika untuk Misi Luar Negeri.[11]
Pada tahun 1850, Dewan Injil Belanda menugaskan Herman Neubronner van der Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak - Belanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang menjadi sasaran pengkristenan mereka.[12].
Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861, dan sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen. Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada tahun 1893. Menurut H. O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku, dan terdengar aneh dalam bahasa Batak.[13]
Selanjutnya Misi Katolik di Tanah Batak terhitung sejak Pastor Misionaris pertama yakni Pastor Sybrandus van Rossum, OFM.Cap masuk ke jantung Tanah Batak, yakni Balige tanggal 5 Desember 1934.
Masyarakat Toba dan sebagian Karo menyerap agama Kristen dengan cepat, dan pada awal abad ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai identitas budaya[14]. Pada masa ini merupakan periode kebangkitan kolonialisme Hindia-Belanda, dimana banyak orang Batak sudah tidak melakukan perlawanan lagi dengan pemerintahan kolonial. Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun 1907, setelah pemimpin kharismatik mereka, Sisingamangaraja XII wafat.[15]

Gereja HKBP

Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) telah berdiri di Balige pada bulan September 1917. Pada akhir tahun 1920-an, sebuah sekolah perawat memberikan pelatihan perawatan kepada bidan-bidan disana. Kemudian pada tahun 1941, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) didirikan.[16]

Gereja Katolik di Tanah Batak

Misi Katolik masuk ke Tanah Batak setelah Zending Protestan berada di sana selama 73 tahun. Daerah-daerah yang padat penduduknya serta daerah-daerah yang subur sudah menjadi “milik” Protestan. Menurut Sybrandus van Rossum dalam tulisannya berjudul “Matahari Terbit di Balige” bahwa pada tahun 1935 orang Batak yang sudah dibaptis di Protestan mencapai lebih kurang 450.000 orang. Lembaga pendidikan dan kesehatan sudah berada di tangan Zending. Zending juga sudah mempunyai kader-kader yang tangguh baik dalam masyarakat maupun dalam pemerintahan. Dalam situasi seperti itulah Misi Katolik masuk ke Tanah Batak.

Kepercayaan

Sebuah kalender Batak yang terbuat dari tulang, dari abad ke-20. Dimiliki oleh Museum Anak di Indianapolis.
Sebelum suku Batak Toba menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi na Bolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak Toba mengenal tiga konsep, yaitu:
  • Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
  • Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
  • Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, namun orang Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka.[12]

Salam Khas Batak

Tiap puak Batak memiliki salam khasnya masing masing. Meskipun suku Batak terkenal dengan salam Horasnya, namun masih ada dua salam lagi yang kurang populer di masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah. Horas sendiri masih memiliki penyebutan masing masing berdasarkan puak yang menggunakannya
1. Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!”
2. Karo “Mejuah-juah Kita Krina!”
3. Toba “Horas, Syalom Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!”
4. Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!”
5. Mandailing dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”

Kekerabatan

Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada.
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.
Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat.
Rumah Adat Batak Toba

Falsafah dan sistem kemasyarakatan

Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu. Berikut penyebutan Dalihan Natolu menurut keenam puak Batak
1. Dalihan Na Tolu (Toba) • Somba Marhula-hula • Manat Mardongan Tubu • Elek Marboru
2. Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola) • Hormat Marmora • Manat Markahanggi • Elek Maranak Boru
3. Tolu Sahundulan (Simalungun) • Martondong Ningon Hormat, Sombah • Marsanina Ningon Pakkei, Manat • Marboru Ningon Elek, Pakkei
4. Rakut Sitelu (Karo) • Nembah Man Kalimbubu • Mehamat Man Sembuyak • Nami-nami Man Anak Beru
5. Daliken Sitelu (Pakpak) • Sembah Merkula-kula • Manat Merdengan Tubuh • Elek Marberru
  • Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
  • Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.
  • Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.
Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja no Dongan Tubu dan Raja ni Boru.

Ritual kanibalisme

Pejuang Batak
Ritual kanibalisme telah terdokumentasi dengan baik di kalangan orang Batak, yang bertujuan untuk memperkuat tondi pemakan itu. Secara khusus, darah, jantung, telapak tangan, dan telapak kaki dianggap sebagai kaya tondi.
Dalam memoir Marco Polo yang sempat datang berekspedisi dipesisir timur Sumatera dari bulan April sampai September 1292, ia menyebutkan bahwa ia berjumpa dengan orang yang menceritakan akan adanya masyarakyat pedalaman yang disebut sebagai "pemakan manusia".[17] Dari sumber-sumber sekunder, Marco Polo mencatat cerita tentang ritual kanibalisme di antara masyarakat "Battas". Walau Marco Polo hanya tinggal di wilayah pesisir, dan tidak pernah pergi langsung ke pedalaman untuk memverifikasi cerita tersebut, namun dia bisa menceritakan ritual tersebut.
Niccolò Da Conti (1395-1469), seorang Venesia yang menghabiskan sebagian besar tahun 1421 di Sumatra, dalam perjalanan panjangnya untuk misi perdagangan di Asia Tenggara (1414-1439), mencatat kehidupan masyarakat. Dia menulis sebuah deskripsi singkat tentang penduduk Batak: "Dalam bagian pulau, disebut Batech kanibal hidup berperang terus-menerus kepada tetangga mereka ".[18][19]
Thomas Stamford Raffles pada 1820 mempelajari Batak dan ritual mereka, serta undang-undang mengenai konsumsi daging manusia, menulis secara detail tentang pelanggaran yang dibenarkan.[20] Raffles menyatakan bahwa: "Suatu hal yang biasa dimana orang-orang memakan orang tua mereka ketika terlalu tua untuk bekerja, dan untuk kejahatan tertentu penjahat akan dimakan hidup-hidup".. "daging dimakan mentah atau dipanggang, dengan kapur, garam dan sedikit nasi".[21]
Para dokter Jerman dan ahli geografi Franz Wilhelm Junghuhn, mengunjungi tanah Batak pada tahun 1840-1841. Junghuhn mengatakan tentang ritual kanibalisme di antara orang Batak (yang ia sebut "Battaer"). Junghuhn menceritakan bagaimana setelah penerbangan berbahaya dan lapar, ia tiba di sebuah desa yang ramah. Makanan yang ditawarkan oleh tuan rumahnya adalah daging dari dua tahanan yang telah disembelih sehari sebelumnya.[22] Namun hal ini terkadang dibesar-besarkan dengan maksud menakut-nakuti orang/pihak yang bermaksud menjajah dan/atau sesekali agar mendapatkan pekerjaan yang dibayar baik sebagai tukang pundak bagi pedagang maupun sebagai tentara bayaran bagi suku-suku pesisir yang diganggu oleh bajak laut.[23]
Oscar von Kessel mengunjungi Silindung pada tahun 1840-an, dan pada tahun 1844 mungkin orang Eropa pertama yang mengamati ritual kanibalisme Batak di mana suatu pezina dihukum dan dimakan hidup. Menariknya, terdapat deskripsi paralel dari Marsden untuk beberapa hal penting, von Kessel menyatakan bahwa kanibalisme dianggap oleh orang Batak sebagai perbuatan berdasarkan hukum dan aplikasinya dibatasi untuk pelanggaran yang sangat sempit yakni pencurian, perzinaan, mata-mata, atau pengkhianatan. Garam, cabe merah, dan lemon harus diberikan oleh keluarga korban sebagai tanda bahwa mereka menerima putusan masyarakat dan tidak memikirkan balas dendam.[24]
Ida Pfeiffer mengunjungi Batak pada bulan Agustus 1852, dan meskipun dia tidak mengamati kanibalisme apapun, dia diberitahu bahwa: "Tahanan perang diikat pada sebuah pohon dan dipenggal sekaligus, tetapi darah secara hati-hati diawetkan untuk minuman, dan kadang-kadang dibuat menjadi semacam puding dengan nasi. Tubuh kemudian didistribusikan; telinga, hidung, dan telapak kaki adalah milik eksklusif raja, selain klaim atas sebagian lainnya. Telapak tangan, telapak kaki, daging kepala, jantung, serta hati, dibuat menjadi hidangan khas. Daging pada umumnya dipanggang serta dimakan dengan garam. Para perempuan tidak diizinkan untuk mengambil bagian dalam makan malam publik besar ".[25]
Pada 1890, pemerintah kolonial Belanda melarang kanibalisme di wilayah kendali mereka.[26] Rumor kanibalisme Batak bertahan hingga awal abad ke-20, dan nampaknya kemungkinan bahwa adat tersebut telah jarang dilakukan sejak tahun 1816. Hal ini dikarenakan besarnya pengaruh agama pendatang dalam masyarakat Batak.[27]

Tarombo

Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu). Orang Batak diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.

Kontroversi

Sebagian orang Karo, Angkola, dan Mandailing sempat tidak menyebut dirinya sebagai bagian dari suku Batak. Meski mayoritas masih mengakui dirinya bagian dari suku Batak, wacana identitas itu sempat muncul disebabkan karena pada umumnya kategori "Batak" dipandang primitif dan miskin oleh etnik lain masa Orde Baru. Selain itu, perbedaan agama juga menyebabkan sebagian orang Tapanuli tidak ingin disebut sebagai Batak. Di pesisir timur laut Sumatera, khususnya di Kota Medan, perpecahan ini sangat terasa. Terutama dalam hal pemilihan pemimpin politik dan perebutan sumber-sumber ekonomi. Sumber lainnya menyatakan kata Batak ini berasal dari rencana Gubernur Jenderal Raffles yang membuat etnik Kristen yang berada antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Islam Minangkabau, di wilayah Barus Pedalaman, yang dinamakan Batak. Generalisasi kata Batak terhadap etnik Mandailing (Angkola) dan Karo, umumnya tak dapat diterima oleh keturunan asli wilayah itu. Demikian juga di Angkola, yang terdapat banyak pengungsi muslim yang berasal dari wilayah sekitar Danau Toba dan Samosir, akibat pelaksanaan dari pembuatan afdeeling Bataklanden oleh pemerintah Hindia Belanda, yang melarang penduduk muslim bermukim di wilayah tersebut.
Konflik terbesar adalah pertentangan antara masyarakat bagian utara Tapanuli dengan selatan Tapanuli, mengenai identitas Batak dan Mandailing. Bagian utara menuntut identitas Batak untuk sebagain besar penduduk Tapanuli, bahkan juga wilayah-wilayah di luarnya. Sedangkan bagian selatan menolak identitas Batak, dengan bertumpu pada unsur-unsur budaya dan sumber-sumber dari Barat. Penolakan masyarakat Mandailing yang tidak ingin disebut sebagai bagian dari etnis Batak, sempat mencuat ke permukaan dalam Kasus Syarikat Tapanuli (1919-1922), Kasus Pekuburan Sungai Mati (1922),[28] dan Kasus Pembentukan Propinsi Tapanuli (2008-2009).
Dalam sensus penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah mengklasifikasikan Simalungun, Karo, Toba, Mandailing, Pakpak dan Angkola sebagai etnis Batak.

Parna

PomparAn ni Raja Nai Ambaton

Pomparan ni si Raja Naiambaton biasa disingkat menjadi PARNA, yaitu marga-marga yang dipercayai sebagai keturunan dari Raja Naiambaton yang karenanya tidak boleh menikah satu dengan yang lainnya. Hal ini dipertegas dalam tulisan-tulisan pustaha Batak yang berbunyi "Pomparan ni si Raja Naiambaton sisada anak sisada boru” dalam bahasa Batak Toba, yang dapat diartikan dengan ”Keturunan Raja Naiambaton adalah sama-sama pemilik putra dan putri,” yang dalam arti lebih luas lagi dapat diartikan bahwa ”Putra-putri keturunan marga-marga Naiambaton tidak boleh menikah satu sama lain.”

Raja Naiambaton

Satu tulisan menyatakan bahwa Raja Naiambaton merupakan keturunan keenam dari Raja Batak]], seperti berikut: Raja Batak memperanakkan Guru Tateabulan, memperanakkan Raja Isumbaon, memperanakkan Tuan Sorimangaraja, memperanakkan Raja Asiasi, memperanakkan Sangkaisomalindang, dan memperanakkan Raja Naiambaton.

Marga-marga Parna

Terdapat perbedaan pada jumlah marga yang masuk dalam kelompok Parna ini, hal ini disebabkan karena kebudayaan Batak yang dapat menggunakan marga leluhur, percabangan marga kakek, ayah, atau bahkan percabangan marga baru. Tetapi walau berbeda marga, semuanya mengaku dipersatukan oleh ucapan di atas ("Pomparan ni si Raja Naiambaton sisada anak sisada boru”).
Penyebab lain dari perbedaan jumlah marga ini adalah adanya beberapa marga dari non-Tapanuli/Toba yang tidak mengakui marganya sebagai keturunan dari Raja Nai Ambaton.
Selain itu, kelompok Parna juga pernah mengeluarkan marga yang tidak lagi memenuhi ketentuan sebagaimana dinasihatkan oleh Nai Ambaton, misalnya Haromunthe.
Haromunthe, jika dirunut sesuai literatur dan kesaksian dari pemilik marga ini, adalah keturunan dari Munte. Sejak dikeluarkan dari kelompok ini, maka orang Batak yang bermarga Haromunthe tetap melaksanakan adat-istiadat Batak dan karenanya tetap menjadi bagian dari masyarakat Batak dalam lingkup yang lebih luas. Keterangan tentang marga ini bisa ditelusuri di haromunthe.com
Nasib sejenis juga dialami oleh marga Sidabungke [lazim dilafalkan Sidabukke atau Dabukke.
Ada 48 marga yang termasuk dalam Pomparan Ni Raja Nai Ambaton (PARNA) yaitu:
Urutan ini berdasarkan yang tertua:

1. Simbolon
2. Tinambunan
3. Tumanggor/Tumangger
4. Turuten
5. Maharaja
6. Pinayungan
7. Nahampun
8. Tamba ( Sitonggor )
9. Siallagan
10. Turnip
11. Tamba ( Lumban Tonga-tonga )
12. Sidabutar
13. Sijabat> Dajawak
14. Siadari
15. Sidabalok
16. Tamba ( Marhatiulubalang )
17. Siambaton
18. Munte ( Lumban Tonga-Tonga )
19. Tamba ( Lumban Toruan/Rumaroha )
20. Rumahorbo
21. Napitu
22. Sitio
23. Sidauruk
24. Simalango
25. Saing
26. Simarmata
27. Nadeak
28. Saragi
29. Sumbayak
30. Sitanggang
31. Sigalingging
32. Manihuruk
33. Garingging
34. Tendang
35. Banurea
36. Manik Kecupak/Mengidar
37. Gajah
38. Bringin
39. Brasa
40. Boang Manalu
41. Bancin
42. Saraan
43. Kombih
44. Berampu
45. Munthe
46. Damunthe
47. Dalimunthe
48. Ginting.

 

Raja NaiAmbaton

PARNA

Keturunan Raja Naiambaton dikenal sebagai keturunan yang terdiri dari berpuluh-puluh marga yang tidak boleh saling kawin (ndang boi masiolian). Kumpulan persatuan rumpun keturunan Raja Naiambaton disebut dengan PARNA (Parsadaan Raja Nai Ambaton). Catatan: huruf R dalam kata PARNA bukan representasi 'raja', tapi PAR=Parsadaan ("persatuan"), NA=Nai Ambaton.
Raja Naiambaton atau yang dikenal dengan nama Tuan Sorba Dijulu adalah salah satu dari 3 keturunan Tuan Sorimangaraja. Tuan Sorba Dijulu merupakan cikal bakal 'parsadaan' marga-marga Batak terbesar dan terbanyak atau yang lebih dikenal dengan keturunan Raja NaiAmbaton atau PARNA.

Raja Naiambaton sendiri adalah gelar yang memiliki banyak arti dikalangan masyarakat Batak terutama bagi keturunan Naiambaton sendiri. Disatu sisi penempatan kata 'Nai' adalah untuk perempuan, dll. Namun sama halnya dengan anak Tuan Sorimangaraja seperti Tuan Sorimangaraja yang lain seperti Sorba Dijae (NaiRasaon), Tuan Sorba Dibanua (NaiSuanon). Namun satu hal yang perlu ditelaah adalah kesamaan dari 3 nama ini, dari 3 nama diatas, hanya NaiAmbatonlah yang hingga saat ini tabu untuk saling menikahi, tidak seperti keturunan NaiRasaon dan NaiSuanon yang sudah saling 'marsiolian'. Raja dari istrinya yang bernama NaiAmbaton dialah Tuan Sorba Dijulu, Ompu Raja Nabolon. Dengan begitu banyak versi, bukanlah jadi masalah penamaan Raja bagi NaiAmbaton, nama ini sudah ada sebelum saya lahir, banyak kemungkinan bisa terjadi arti dari Raja di penamaan NaiAmbaton, mungkin saja bila keturunan NaiRasaon tidak bisa saling menikahi, bukan tidak mungkin hingga saat ini kita dengar parsadaan Raja NaiRasaon, atau parsadaan Raja NaiSuanon.

Raja NaiAmbaton memiliki 5 orang putra dan 1 orang putri. Namun ke-6 anak-anak Raja NaiAmbaton ini berasal dari 2 orang istri. Dari istrinya yang pertama, setelah menikah Raja NaiAmbaton, istri pertama lama memiliki keturunan, lama menanti akhirnya Raja NaiAmbaton menikah kembali, dan dari pernikahan keduanya lahirlah tanpa waktu yang lama seorang putra pertama bagi Raja NaiAmbaton, diberilah anak tersebut dengan nama 1.Raja Nabolon/Si Bolon Tua. Raja Nabolon memiliki arti tersendiri bagi Tuan Sorba Dijulu, yang merupakan kelak keturunan-keturunannya akan menjadi besar, dan itu terbukti saat ini keturunan Tuan Sorba Dijulu adalah keturunan kumpulan marga-marga terbesar di marga Batak. Sejak setelah itulah Tuan Sorba Dijulu lebih dikenal dengan nama Ompu Raja Nabolon. Kemudian dari istrinya yang kedua kembali lahirlah seorang putri, yang diberi nama 2. Pinta Haomasan. Di satu sisi lama belum memiliki keturunan dari istri pertama, sedangkan dari istri kedua sudah melahirkan 2 orang anak, mengandunglah istri pertama Tuan Sorba Dijulu dan lahirlah seorang putra.

Kegembiraan Tuan Sorba Dijulu dan syukur kepada Mulajadi Nabolon yang mengaruniakannya 'hagabeon' dan kelengkapan keturunan dari kedua istrinya serta menghapus kekhawatirannya selama ini. Diberilah anak tersebut dengan nama 3.Tamba Tua, yang memiliki arti bertambah lengkaplah keturunannya, sedangkan kata 'Tua' pun bagi orang Batak memiliki arti yang dalam dan bermakna. Setelah lahirnya Tamba Tua berturut-turut istri pertama Tuan Sorba Dijulu melahirkan kembali 3 orang putra, diberilah nama 4. Saragi Tua, 5. Munthe Tua, dan 6. Nahampun Tua.

Bagi orang Batak, anak laki-laki sulung adalah si pembawa nama bagi keluarganya. Dan apabila laki-laki menikahi 2 orang perempuan, keturunan dari istri pertamalah 'Raja Jolo' bagi keturunan laki-laki orang Batak tersebut, sekalipun dari istri kedua lebih dahulu memiliki keturunan dari istri pertama. Ini hampir terjadi dihampir semua orang Batak, terlebih orang Batak dulu atau nenek moyang dari masing-masing marga, hampir semua marga mengalami kisah yang sama terkait masalah ini.
Bagi Tuan Sorba Dijulu sendiri, inipun yang menjadi konflik bagi keturunannya. Kelak ketika anak-anak Tuan Sorba Dijulu semakin besar dan semakin mengerti akan adat budaya orang Batak, muncullah tanda tanya didalam pikiran masing-masing. Terlebih apabila Tuan Sorba Dijulu tidak pernah menceritakan, menyelesaikan sebelum anak-anak mereka mempermasalahkannya.

Terjadilah konflik diantara anak-anak Tuan Sorba Dijulu, terutama diantara sulung dari keturunan istri pertama dan kedua Tuan Sorba Dijulu yaitu antara Bolon Tua dengan Tamba Tua, Bolon Tua yang lahir lebih dulu dari istri kedua Tuan Sorba Dijulu telah dianggap sebagai sulung bagi Tuan Sorba Dijulu, Bolon Tua merupakan kesayangan dari Tuan Sorba Dijulu, kemanapun Tuan Sorba Dijulu pergi selalu mengajak anaknya Bolon Tua baik itu 'marmahan' atau berburu dan lainnya. Tamba Tua yang merasa bahwa dalam adat seharusnya dialah Raja Jolo karena dari istri pertama mempertanyakan hal itu kepada Tuan Sorba Dijulu dan Bolon Tua. Hal ini disadari setelah mereka besar dan paham akan adat budaya Batak, dimana pasti Si Bolon Tua lah yang memperoleh jambar ataupun ulos dll dalam acara adat. Karena perselisihan ini semakin meruncing, maka Tuan Sorba Dijulu dengan caranya menengahi Si Bolon Tua dan Tamba Tua dengan cara 'marultop' adu ultop antara Si Bolon Tua dan Tamba Tua dengan catatan siapa yang berdarah terkena ultop, maka dialah sianggian. Namun sebelum adu marultop itu terjadi, Tuan Sorba Dijulu menumpulkan ultop Tamba Tua dan membuat runcing/tajam ultop (anak panahnya) Si Bolon Tua. Mengapa Tuan Sorba Dijulu melakukan ini...??. Ada banyak kemungkinan, karena dia lebih menyayangi Si Bolon Tua, atau karena Si Bolon Tua adalah awal dari hagabeoni Tuan Sorba Dijulu, atau karena malu apabila selama ini Tuan Sorba Dijulu dianggap tidak mengerti adat karena selalu Si Bolon Tua lah yang menerima jambar/ulos dll dalam setiap acara, atau mungkin inilah cara yang paling tepat agar keturunannya berdamai, karena apabila Tamba Tua terbukti siakkangan, tentu Saragi Tua, Munthe Tua, Nahampun Tua yang umurnya jauh sekali dari Si Bolon Tua menjadi haha doli Si Bolon Tua, dan itu tentu membuat Si Bolon Tua menjadi sedih atau mungkin marsak atau mungkin pergi meninggalkan atau hal-hal lainnya. Kejadian marultop ini didengar oleh Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua juga Pinta Haomasan. Namun tak disangka, ketika Tuan Sorba Dijulu menumpulkan ultop Tamba Tua dan membuat runcing ultop Si Bolon Tua, hal ini dilihat oleh borunya Pinta Haomasan. Pinta Haomasan melihat semua yang dilakukan ayahandanya Tuan Sorba Dijulu.

Terjadilah adu ultop antara Si Bolon Tua dan Tamba Tua, dimana Tamba Tua lah yang berdarah oleh ultop Si Bolon Tua. Setelah kejadian ini, ditemui Pinta Haomasan lah Tamba Tua, dan memberitahukan kejadian tentang apa yang dilakukan ayah mereka Tuan Sorba Dijulu terhadap ultop Tamba Tua. Lalu, apa alasan Pinta Haomasan memberitahukan hal itu kepada Tamba Tua...?? Bukankah Si Bolon Tua adalah saudara satu rahim ibu dengan Pinta Haomasan dibandingkan Tamba Tua...??. Semenjak kecil, Si Bolon Tua selalu pergi bersama ayahnya, sedangkan Pinta Haomasan bertugas mengurus adik-adiknya yang masih kecil termasuk Tamba Tua. Dalam bahasa Bataknya dipatarus-tarus.

Perlu untuk kita ketahui, kejadian marultop terjadi ketika Si Bolon Tua, Tamba Tua sudah magodang, termasuk Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua. Semenjak muda dan belum menikah, tidak ada permasalahan akan siakkangan, karena sudah menikahlah baru kelihatan adat bagi orang Batak itu. Pembagian jambar, ulos, pasu-pasu, dan yang selalu tampil saat itu selalu Si Bolon Tua, disinilah mereka yang abang beradik itu baru mulai mempermasalahkannya, disaat mereka mulai menyadari makna dan mengerti adat istiadat itu sendiri, ditambah adik-adik Tamba Tua yang juga mulai menyadari dan mengerti, lalu disampaikan pada haha dolinya Tamba Tua untuk mempertegas masalah ini ke Tuan Sorba Dijulu. Jadi ke lima anak Tuan Sorba Dijulu sudah marhasohotan sebelum beberapa anak-anaknya pergi dari Pangururan termasuk borunya si Pinta Haomasan.

Kembali pada cerita sebelumnya, diceritakan Pinta Haomasan lah kepada ibotona Tamba Tua tentang apa yang telah diperbuat ayah mereka Tuan Sorba Dijulu. Tamba Tua merasa kecewa sekali, dan hal ini diceritakanlah kepada adik-adiknya Saragi Tua, Munthe Tua dan Nahampun Tua. Kemudian mereka sepakat untuk meninggalkan Pangururan. Rencana inipun didengar oleh itonya Pinta Haomasan, dengan bersedih hati karena rencana ito-itonya ini, Pinta Haomasan datang kerumah Tamba Tua dan membawa sipanganon lao paborhaton ibotona, sebagai bentuk tanda kasih sayang dan doa. Akhirnya pergilah Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua dari tanah Pangururan dengan perasaan sedih.

Disamping versi tersebut, ada versi lain yang mengatakan namun tidaklah berbeda jauh dari kisah diatas. Dikisahkan tidak sampai terjadi kejadian namarultop i, sebelum kejadian marultop, Pinta Haomasan sudah lebih dahulu memberitahukan Tamba Tua apa yang telah dilakukan Tuan Sorba Dijulu ayahanda mereka, dengan rasa kekecewaan dan sedih akhirnya Tamba Tua dan adik-adiknya sepakat untuk pergi dari tanah Pangururan. Lalu di versi yang lain dikatakan setelah kejadian marultop, muncul lah perasaan dendam Si Bolon Tua terhadap Tamba Tua dimana dia telah membuat masalah akan siakkangan, padahal saat marultop telah terbukti Tamba Tualah yang berdarah kena ultop Si Bolon Tua, dan Si Bolon Tua berencana membunuh Tamba Tua, namun rencana Si Bolon Tua diketahui Pinta Haomasan, dan dengan segera Pinta Haomasan memberitahukannya pada Tamba Tua, akhirnya Tamba Tua sepakat pergi meninggalkan tanah Pangururan bersama adik-adiknya.

Perlu untuk kita ketahui kembali, Pinta Haomasan menikah dengan Raja Silahi Sabungan, dan Tamba Tualah yang menikahkan Pinta Haomasan dengan Raja Silahi Sabungan disaksikan Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua. Saat itu Si Bolon Tua terlalu sibuk dengan urusannya bersama Tuan Sorba Dijulu marmahan, berburu, mengadu kesaktian sehingga Tamba Tualah yang mangamai Pinta Haomasan saat itu, dimana posisi Tamba Tua sudah menikah dengan boru Malau Pase. Namun hari-hari kegiatan Pinta Haomasan banyak dihabiskan bersama ibotona karena Raja Silahi Sabungan yang mengadu kesaktian di luar tanah Pangururan dan jarang kembali. Keturunan dari Pinta Haomasan adalah Silalahi Raja. Namun setelah Silalahi Raja besar dia tidak lagi dapat berkumpul dengan tulangnya Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua dan Nahampun Tua dan anak-anak tulangnya, karena Tamba Tua dan adik-adiknya serta keturunannya sudah pergi dari tanah Pangururan, sehingga hanya tinggal Si Bolon Tua dan keturunannya lah yang tinggal di tanah Pangururan. Oleh karena itu, Silalahi Raja menikahi boru tulangnya dari Si Bolon Tua, dan itu terjadi piga-piga sundut mangalap boru tulangna Si Bolon Tua. Karena sudah beberapa sundut mengambil boru tulangnya dari Si Bolon Tua, maka dikatakanlah Silalahi Raja boru sihabolonan ni Simbolon, karena sudah mengambil dari atas boru Simbolon. Selebihnya pihak Silalahi Raja lah yang lebih mengetahuinya.

Akhirnya Tamba Tua dan adik-adiknya menemukan tanah baru yang cocok untuk ditempati bersama semua keturunannya dan keturunan adik-adiknya, diberilah nama huta itu huta Tamba. Disinilah dimulai parserahan marga-marga mayoritas PARNA. Setelah menempati kampung yang baru dan membangun kampung tersebut, Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua sepakat untuk menghambat Si Bolon Tua. Tamba Tua di huta Tamba-Samosir, Saragi Tua pergi ke Simalungun, Munthe Tua ke tanah Karo, dan Nahampun Tua ke Dairi. Namun belum diketahui apakah turut serta membawa keturunannya, namun berdasarkan tano parserahan marga-marga PARNA keturunan Saragi Tua, Munthe Tua, Nahampun Tua, keturunannya ada yang ikut dan ada yang tidak ikut. Saragi Tua memiliki 2 anak, Ompu Tuan Binur dan Raja Saragi, Saragi Tua membawa Raja Saragi ke tanah Simalungun sedangkan Ompu Tuan Binur tinggal di huta Tamba. Setelah tiba di tanah Simalungun, Raja Saragi menikah di tanah Simalungun dan memiliki keturunan, lama di tanah Simalungun Saragi Tua memutuskan kembali ke kampungnya di huta Tamba, namun Raja Saragi tidak ingin lagi kembali ke huta Tamba, tetapi salah satu keturunan Raja Saragi ikut bersama opungnya Saragi Tua kembali ke huta Tamba. Keturunan Raja Saragi yang tinggal di tanah Simalungun ini diketahui adalah cikal bakal marga Sumbayak, dan yang kembali ke huta Tamba adalah cikal bakal marga Sidabukke yang kemudian merantau ke Simanindo yang saat ini mayoritas bukanlah bagian dari punguan Parna lagi karena kejadian dimana cucu dari Raja Saragi yang bernama Raja Sinalin yang dari huta Tamba merantau ke Simanindo Sibatu-batu menikahi itonya sendiri boru Napitu. Dan hingga saat ini sudah banyak Sidabukke menikahi boru Parna, dan marga Parna sendiri menikahi boru Sidabukke, hanya minoritas yang mengatakan masih Parna. Mengapa begitu…?? Ini ada kisahnya sendiri mengapa sampai masih ada minoritas Sidabukke yang mengatakan Parna, akan dibahas di lain kesempatan. Ketika Saragi Tua kembali ke huta Tamba, keturunannya sudah merantau dari huta Tamba, dan menemukan tanah baru yang kelak dinamakan Huta Simarmata.

Lalu Munthe Tua dan anak seorang anaknya ikut ke tanah Karo, anak dari Munthe Tua ini diketahui adalah Ompu Jelak Karo yang akhirnya tidak mau kembali dan menetap di tanah Karo. Anak dari Munthe Tua sendiri ada tiga, Raja Sitempang, Ompu Jelak Maribur, dan Ompu Jelak Karo. Namun yang ikut ke huta Tamba hanyalah Ompu Jelak Maribur dan Ompu Jelak Karo, namun karena Ompu Jelak Karo mengikuti Munthe Tua ke tanah Karo namun enggan kembali, yang kembali hanya Munthe Tua ke tanah Tamba dan tinggalah Ompu Jelak Maribur beserta keturunannya. Lalu bagaimana dengan anaknya yang pertama Raja Sitempang…??

Raja Sitempang tidak ikut Munthe Tua dari tanah Pangururan ke huta Tamba disebabkan ketika Raja Sitempang lahir, Munthe Tua langsung mengasingkan Raja Sitempang jauh ke pusuk buhit, tidak ada yang tau akan hal ini. Sehingga ketika kejadian namarultop Raja Sitempang tidak tahu menahu akan hal tersebut. Sedikit tentang Raja Sitempang, Raja Sitempang diasingkan ke pusuk buhit, Raja Sitempang tidak tau sama sekali apa yang terjadi di kampung halamannya di Pangururan. Baik itu kejadian ultop, menikahnya namboru Pinta Haomasan dll. Raja Sitempang diasingkan oleh karena (sattabi sangap di ompui) cacat fisik yang dideritanya. Lama diasingkan dipusuk buhit, Raja Sitempang bertemu dengan seorang gadis yang juga ternyata diasingkan orangtuanya, gadis ini memiliki nasib yang sama dengan Raja Sitempang yang cacat fisik, Raja Sitempang tidak mengetahui siapa gadis ini yang adalah anak dari namboru kandungnya Pinta Haomasan, begitu juga dengan gadis tersebut tidak mengetahui Raja Sitempang adalah anak dari tulangnya Munthe Tua. Karena saling tidak mengetahui siapa masing-masing diri mereka, yang sebenarnya mereka ada sepupu kandung akhirnya mereka saling mengasihi dan menikah, namun tidak ada keturunan yang dihasilkan dari pernikahan ini. Dalam hal ini, Raja Sitempang satu level dengan Si Boru Marihan, yang adalah nama si gadis tersebut. Lama dipusuk buhit, tanpa ada yang tau persis penyebabnya, diketahui Raja Sitempang kembali normal seperti manusia biasanya. Dikatakan dia bersemedi di pusuk buhit meminta pada Mulajadi Nabolon untuk kesembuhannya dan Mulajadi Nabolon mengabulkannya. Bukan hanya sembuh, Raja Sitempang juga memiliki cukup kesaktian dalam dirinya. Setelah kenormalan fisik Raja Sitempang, dia memutuskan kembali ke kampung halamannya ke tanah Pangururan. Tanah Pangururan yang didatanginya tidak sama dengan tanah Pangururan yang telah lama ditinggalkannya, dia tidak lagi menemukan Munthe Tua, bapatuanya Saragi Tua, Tamba Tua dan bapaudanya Nahampun Tua yang dia temui hanyalah keturunan dari Si Bolon Tua.


NB : kisah Si boru Marihan pun masih menjadi simpang siur bila dikaitkan dengan versi Silalahi, namun kisah di atas diambil dari versi Sitanggang. Mohon maaf apabila dari pihak Silalahi menganggap ini salah, karena pada dasarnya penulis mengambil hanya mengaitkan dari versi Sitanggang saja. Dalam satu versi Raja Sitempang dan Siboru Marihan tidak memiliki anak, disatu sisi memiliki anak yang bernama Raja Hatorusan bukan Raja Natanggang.


Nahampun Tua pergi ke Dairi, diketahui hanya Nahampun Tualah yang tidak kembali lagi ke huta Tamba, Nahampun Tua lama dan menetap di Dairi. Namun ada 2 versi yang mengatakan, keturunan Nahampun Tua adalah si Onom Hudon, namun versi yang lebih sering diceritakan adalah Nahampun Tua tidak berketurunan anak laki-laki, hanya anak perempuan saja. Di tanah Dairi Nahampun mewariskan warisan, namun karena tidak memiliki anak laki-laki hanya anak perempuannyalah yang mengurus, atau bahkan rumah/tanah Nahampun Tua di Dairi tidak ada yang mengurus. Lama puluhan tahun kemudian, datanglah anak rantau ke tanah Dairi, Raja Huta setempat tentu menanyakan siapa gerangan anak rantau ini, setelah diketahu bahwasanya anak rantau ini adalah keturunan Si Bolon Tua maka Raja Huta pun mengatakan bahwa di tanah Dairi ini ada peninggalan opung anak rantau ini, opung yang adalah adik dari opung mereka Si Bolon Tua, dan Raja Huta mengatakan agar anak rantau ini menempati tanah warisan dan peninggalan Nahampun Tua. Diketahui anak rantau ini adalah keturunan Si Bolon Tua dari Tuan Nahoda Raja yang bernama Tuan Seul. Akhirnya Tuan Seul tinggal dan menetap di tanah Dairi, dan memiliki 7 keturunan anak laki-laki, diantaranya Simbuyak-buyak (meninggal), Tinambunan, Tumanggor, Maharaja, Turutan, Pinayungan dan Nahampun. Alasan Tuan Seul memberikan nama anak bungsu laki-lakinya Nahampun adalah sebagai bentuk penghormatan dan mengenang Nahampun Tua, karena saat ini Tuan Seul lah yang menempati dan menggunakan warisan serta peninggalan Nahampun Tua di tanah Dairi.

Namun tidak dapat dipastikan berapa lama Saragi Tua di Simalungun dan kembali ke huta Tamba, Munthe Tua di tanah Karo dan kembali ke huta Tamba, juga Nahampun Tua di tanah Dairi.
Dari kisah ultop diatas, adanya kata sepakat Simbolon Tua adalah haha doli Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua dan Nahampun Tua, sebab itulah poda ni da ompung Ompu Raja Nabolon, dipillit ompung i do Si Bolon Tua gabe Raja Jolona, Ido umbahen goar ni Tuan Sorba Dijulu ima Ompu Raja Nabolon.
Kembali pada kisah Raja Sitempang…

Raja Sitempang pulang ke tanah Pangururan dan tidak menemukan keluarganya, akhirnya Raja Sitempang memutuskan untuk mencari sembari mengadu kesaktian karena Raja Sitempang saat ini adalah seorang yang memiliki kesaktian dan tidak bercacat fisik seperti dulu ketika diasingkan. Ketika Raja Sitempang pulang ke tanah Pangururan, dia hanya dapat menemukan keturnan Si Bolon Tua yaitu Tuan Nahoda Raja yang adalah anak abangnya Suri Raja. Perbedaan umur Suri Raja dengan Raja Sitempang cukup jauh, dikarenakan Si Bolon Tua yang lahir lebih dulu jauh dibandingkan Munthe Tua, kemudian Raja Sitempang yang lama menikah karena lama diasingkan ke pusuk buhit mengakibatkan ketertinggalan umur yang cukup jauh.

Pergilah Raja Sitempang memulai perjalanannya, lama mencari namun tak kunjung dia temukan, alhasil tibalah Raja Sitempang di sebuah kampung di Dairi dikampung marga Mataniari, disana dia dijamu dan mengobati orang-orang yang sakit juga membela kampung tersebut dari peperangan (banyak cerita dan versi terkait ini). Karena jasanya, dan keakrabannya hal yang lumrah dijaman dulu adalah memberikan putri dari Raja Huta tersebut untuk dinikahi, disinilah Raja Sitempang menikahi si boru Porti Mataniari. Dalam versi Sitanggang, Tuan Sorba Dijulu digelari Datu Sindar Mataniari yang nama tersebut adalah nama ciri khas dari daerah Dairi, adapun gelar tersebut karena jasa-jasa yang telah dilakukan Raja Sitempang terhadap kampung tersebut, maka Raja Mataniari pun mengatakan Raja Sitempang adalah anak dari seorang datu yang hebat, muncullah gelar Datu Sindar Mataniari, keturunan datu (dukun) yang memberikan sinar pada kampung Mataniari (sinar disini adalah keberuntungan). Dinikahilah si boru Porti Mataniari, dan dibawa Raja Sitempang ke kampung halamannya. Raja Sitempang pun memutuskan menghentikan pencarian karena lama sudah tidak ditemukannya. Raja Sitempang sendiri setelah menikah dan mengetahui adat istiadat menyadari kalau dari ibu, mereka lebih sulung dibandingkan keturunan Si Bolon Tua, disinilah kemudian banyak muncul versi kembali. Apakah Raja Sitempang tidak mau membuka adat istiadat yang sudah terbiasa dilakukan apalagi setelah lama dia diasingkan ke pusuk buhit dan lama tidak kembali ke tanah Pangururan, dan versi dimana namborunya Pinta Haoamasan telah menceritakan kejadian yang terjadi di tanah Pangururan yang membuat Raja Sitempang pergi mencari ayahandanya. Karena itu Raja Sitempang tidak mau mengungkit kembali.

Di tanah Pangururan, si boru Porti Mataniari melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Raja Natanggang, disamping disaat itu di Pangururan Tuan Nahoda Raja pun sudah menikah dengan boru Tobing dan melahirkan anak laki-laki selang beberap tahun setelah Raja Natanggang lahir. Raja Natanggang bertumbuh besar dan menikahi boru Naibaho anak dari Raja Naibaho yang juga adalah penguasa di Pangururan (perlu kita ketahui, Pangururan itu besar dan luas). Raja Naibaho ini memiliki 2 orang putri, putri pertamanya dinikahi oleh Raja Natanggang. Setelah itu, anak Tuan Nahoda Raja menikahi boru Naibaho yang adalah adik kandung dari istri Raja Natanggang. Disini anak Tuan Nahoda Raja menjadi naik satu level dengan Raja Natanggang. Karena dari umur dan dari parparibanan, Raja Natanggang adalah abang dari anak Tuan Nahoda Raja ini. Tuan Nahoda Raja adalah siakkangan keturunan dari Simbolon Tua. Karena terbiasa selama ini jambar, ulos, pasu-pasu, yang selalu tampil dll diberikan terlebih dahulu kepada Simbolon Tua dan keturunannya, maka semenjak parpariban ini itu dipertanyakan Raja Natanggang, bagaimana bisa adiknya yang manjalo jambar dohot akka na asing…??. Ditambah Raja Natanggang tahu kalau dari parsonduk ni da opung Tuan Sorba Dijulu mereka dari istri pertama. Namun keturunan Simbolon Tua tidak menerima itu, disebabkan adat istiadat yang telah terbiasa dilakukan merekalah yang selalu menerima. Keturunan dari adik-adik Tuan Nahoda Raja protes kepada abang mereka, dan karena Tuan Nahoda Raja adalah sulung dari keturunan Simbolon Tua maka anak Tuan Nahoda Raja wajib menyampaikannya kepada Raja Natanggang. Perbedaan pendapat pun terjadi, hingga sampai ke telinga hula-hula Naibaho yang mertua dari Raja Natanggang dan anak Tuan Nahoda Raja ini. Dengan fungsinya sebagai hula-hula, siboan dame, akhirnya kata damai lah yang diberikan sang mertua Raja Naibaho kepada kedua helanya agar tidak mempermasalahkan masalah tersebut, karena Raja Naibaho tau disatu sisi Raja Natanggang adalah siakkangan dari parparibanan, disatu sisi anak Tuan Nahoda Raja adalah siakkangan bila dilihat dari keturunan dan poda ni Ompu Raja Nabolon, maka keluarlah istilah Ipar-Ipar Partubu, rap marsihahaan rap marsianggian. Karena dari leluhur mereka dekat, namun kedekatan itu dipererat dengan sama-sama menikahi boru Naibaho, marabang ma anak ni Tuan Nahoda Raja tu Raja Natanggang, alana siakkangan pinompar ni Simbolon Tua manjou abang tu Raja Natanggang, gabe dohot ma akka angina manjou abang tu Raja Natanggang. Dan itu menjadi terbiasa hingga turun-temurun di kedua marga itu, untuk itu bila di Pangururan lebih digunakan istilah ise do parjolo tubu ima siakkangan sian ise parpudi tubu, marabang molo tu ise naparjolo tubu. Sama seperti di jaman sekarang, ada marga Napitu menikahi boru Damanik, dan marga Sidabutar menikahi boru Damanik yang adalah adik kandung dari boru Damanik yang dinikahi marga Napitu, dalam tutur Sidabutar tentu memanggil abang ke marga Napitu. Hal ini hamper banyak kita temui di lingkungan kekerabatan orang Batak.
Di satu sisi dari berbagai macam versi, ada juga yang mengatakan Raja Sitempang itu adalah gelar dari Munthe Tua, dimana Raja Natanggang adalah pahompunya, versi lain mengatakan Raja Sitempang adalah anak Tuan Sorba Dijulu, hanya saja dalam versi ini (versi Sitanggang) tidak ada Raja Batak, yang paling atas adalah Tuan Sorimangaraja dengan 2 anaknya Raja Isumbaon dan Guru Tatea Bulan, Raja Isumbaon memiliki 3 orang anak yaitu Tuan Sorba Dijulu (Datu Sindar Mataniari), Tuan Sorba Dijae, Tuan Sorba Dibanua. Tuan Sorba Dijulu memiliki 3 anak, Guru Sodungdangon (yang tidak jelas kisahnya), Raja Sitempang dan Raja Nabolon. Namun di Munas Sigalingging dimana Sigalingging adalah marga manjae Raja Sitempang memiliki silsilah yang berbeda dengan versi Sitanggang itu sendiri, namun sama dengan versi Parna pada umumnya, namun menjelang tahun 2005 keatas versi mereka bergeser mengikuti Sitanggang, dan direncanakan akan ada Re-Silsilah dan mengadakan Munas kedua kali di tahun 2017 mendatang (menurut info yang diketahui).
Hal ini memiliki keterkaitannya dengan Kapala-Kapala Nagari pemberian Belanda yang datang ke Samosir dengan mengumpulkan Raja-Raja Bius/Huta di Pangururan, namun ada Raja-Raja yang datang ada juga yang tidak bersedia datang namun tanpa sepengetahuan si Raja, adiknya mewakili dan lain-lainnya. Disinilah dimulainya orang Batak melek teknologi dan mengalami kemajuan, karena Raja-Raja yang datang tersebut selain diberi wilayah kekuasaan dan gelar Kapala Nagari, mereka juga diajarkan baca tulis dan pengetahuan lainnya seperti bercocok tanam yang baik, membuat keterampilan dan lain-lain, itu dapat kita lihat dimana ada marga-marga Batak yang maju, contohnya di Parna itu sendiri, marga-marga Simbolon dan Sitanggang adalah marga-marga yang orang-orangnya lebih dulu maju, terlihat dari jabatan, prestasi dan kemampuan mereka di berbagai bidang profesi. Karena sifat orang Batak, melihat dongan tubuna sukses, agar dapat dibantu terjadilah perubahan tutur, ini juga turut mempengaruhi, karena sukses dan agar dibantu yang butuh bantuan memanggil abang kepada yang sukses, dan yang sukses karena merupakan satu keuntungan terlepas dia tau partuturan atau tidak mereka biasanya hanya diam. Banyak sekali terjadi perubahan karena faktor politik (Kapala Nagari), ekonomi, status sosial dan lain-lain. Karena faktor-faktor tersebut dan semakin modernnya jaman, tidak lagi mempedulikan yang namanya partuturan yang penting asal bisa makan saja dulu. Namun lambat laun kemajuan teknologi itu akan merata, akan muncul orang-orang hebat dan sukses dari marga-marga yang jarang tampil di depan publik, dan mereka biasanya lambat laun memahami, menyadari adanya perubahan yang terjadi, sekalipun orang-orang tua telah menganut paham yang keliru dijaman mereka karena faktor kebutuhan untuk hidup di tanah perantauan. Ini akan dijelaskan di kisah Kapala Nagari di Tanah Batak.

Raja Isumbaon

Raja Isumbaon adalah putra kedua/bungsu Raja Batak. Raja Isumbaon mempunyai 2 (dua) orang putra, yaitu:
  1. Guru Tetean Bulan
  2. Tuan Sorip Mangaraja

Tuan Sorimangaraja

Tuan Sorimangaraja mempunyai 3 (tiga) orang putra, yaitu:
  1. Sorba dijulu mangalap br Naiambaton
  2. Sorba di Jolma Mangalap Br Nairasaon
  3. Tuan Sorbadibanua,Mangalap Br Sanggul Haomason
Naiambaton, kurang pas, seharusnya atau aslinya adalah Nai Ambaton) dan Nairasaon seharusnya atau aslinya Nai Rasaon, tidak didahului kata "Raja". Karena yang dimaksud "raja" ialah pomparannya yang LAKI-LAKI. Kedua orang tersebut, Nai Ambaton dan Nai Rasaon adalah Ibu. Maka seharusnya ada pertukaran letak suku kata, bukan "pomparan raja naiambaton atau nairasan" tetapi seharusnya adalah "raja pomparan ni nai ambaton" atau raja pomparan ni nai rasaon" dan seterusnya. Kata "Nai" dalam bahasa Batak asli adalah panggilan-kehormatan, semacam "gelar". Karena kata Nai bagi seorang ibu dan kata "Amani" bagi seorang bapak menunjukkan bahwa pasangan suami-istri yang bersangkutan sudah berhasil naik setingkat dalam status sosial bermasyarakat, dalam arti ibu dan bapak yang bersangkutan sehari-hari dipanggil dengan nama anak pertama, lepas dari laki atau perempuan. Namun kepada sang bapak, didepan nama anak-pertama tsb ditambahkan "Amani", semisal anak pertama tsb ialah si Bunga, maka si bapak dipanggil sehari-hari, "Amani Bunga". Sementara si ibu sehari-hari dipanggil "Nai Bunga", karena anak-pertama dari perkawinan mereka berdua diberi nama si Bunga. Semisal, sudah lahir anak pertama dan ternyata laki-laki, namun belum diberi nama, maka secara otomatis bernama "Ucok", sementara kalau yang lahir tersebut adalah perempuan, otomatis bernama "Butet". Sepanjang anak pertama lahir tersebut belum diberi nama, maka kedua orang, suami-istri tersebut akan dipanggil Amani Ucuk/ Nai Ucok atau Amani/ Nai Butet. Di wilayah/daerah p. Samosir hal ini dianggap sangat elementer, namun sangat penting dalam etika berbicara, berkomunikasi dan pergaulan-bermasyarakat sehari-hari. Orang yang memanggil orang lain dengan panggilan "gelar", merasa menghormati orang yang bersangkutan dan orang yang dipanggil akan merasa dihormati. Kalau sepasang suami-istri masih dalam penantian anak dari perkawinan, maka ada dua opsi. Pertama, diberi nama yang agak abstrak, misalnya Amani/ Nai Paima. Paima, secara harfiah berarti "menanti". Opsi kedua, mengambil-pinjam nama anak kedua atau ketiga atau keempat dari abang-kandung sang suami, yang belum dipergunakan oleh orang lain dalam kerluarga dekat. Bagi kita yang sudah hidup dikota, kita dipanggil dengan nama kecil kita, tidak masalah. Lain halnya dengan masyarakat kampung yang masih terikat dengan nilai dan tradisi lama secara turun-temurun. Masyarakat di kampung akan merasa plong, bebas, nyaman dan tidak terbebani, bila memanggil seseorang dengan gelar. Contoh di atas, Amani Bunga untuk sang bapak dan Nai Bunga untuk sang ibu.

Demikian halnya atas dua nama yang diberi koment di atas. Nai Ambaton ("panggoaran"), nama kecil ialah si Boru Anting-anting Sabungan/Boru Paromas (puteri Guru Tatea Bulan, "mar pariban"/"sisters" dengan si Boru Pareme). Si Boru Paromas adalah istri pertama dari Tuan Sorimangaraja (anak dari Raja Isumbaon). Anak yg dilahirkan si Boru Paromas/Nai Ambaton, satu, bernama Ompu Tuan Nabolon; namun ada juga penulis yang menyebut namanya Ompu Sorbadijulu. Anak-anak O Tuan Nabolon inilah si Bolontua (Simbolon - seluruhnya), Tambatua - melahirkan banyak marga-marga, Saragitua - melahirkan banyak marga-marga, dan Muntetua - yang juga melahirkan banyak marga-marga. Jumlah marga yang termasuk dalam PARNA ada 48 marga.
Istri kedua Tuan Sorimangaraja ialah si Boru Bidinglaut, yang kemudian "mar-panggoaran" Nai Rasaon. Melahirkan satu anak, bernama Datu Pejel; namun ada penulis menyebut namanya Ompu Tuan Sorbadijae. Anak-anaknya ada dua, yang lahir sekaligus dalam satu "lambutan" bernama Raja Mangarerak dan Raja Mangatur. Pomparan Raja Mangarerak ialah seluruhnya marga Manurung; sementara pomparan Raja Mangatur, ialah seluruhnya marga-marga Sitorus, Sirait dan Butarbutar. Panjang cerita/"turiturian" dibalik penyebutan 4 marga tersebut.

Istri ketiga Tuan Sorimangaraja ialah Nai Suanon/ Nai Tungkaon, nama kecilnya ialah Boru Parsanggul Haomasan. Dalam tarombo pomparan Guru Tateabulan, diberbagai literatur nama ini tidak tertulis. Ibu ini melahirkan satu anak, bernama Tuan Sorbadibanua. Dari Tuan Sorbadibanua lahir 8 anak laki-laki, no 1 si Bagotnipohan, turunannya termasuk "Hula-hula anak manjae" SBY, keluarga Aulia Pohan. Satu lagi di antara 8 itu ada Silahi Sabungan, termasuk Letjend (Prn) TB Silalahi, anggota Watimpres SBY. Satu lagi di antara 8 itu ialah Raja Sobu, asal dari marga-marga Sitompul, si Raja Hasibuan kemudian (disamping masih tetap ada Hasibuan) menurunkan marga-marga Hutabarat(si Raja Nabarat), Panggabean (bercabang lagi dgn Simorangkir), Hutagalung, Huta Toruan (bercabang dua yaitu marga-marga Hutapea-Tarutung/Silindung & Lumbantobing). Catatan: ada juga Hutapea di Laguboti, tapi punya tarombo tersendiri.

Khusus tentang turunan Ompu Tuan Nabolon, menurut kebanyakan literatur adalah: No 1, si Bolontua (sampai sekarang masih satu) yg disebut Simbolon, no 2, Tambatua (1 Tonggor Dolok/Rumabolon, 2 Lumban Tongatonga, 3 Lumbantoruan), no 3, Saragitua, no 4, Muntetua. Mereka berempat, si Bolontua, Tambatua, Saragitua dan Muntetua dilahirkan oleh 2 Ibu: pertama, boru Pasaribu, kedua boru Malau (Silau Raja). Penyebutan nama anak-anaknya tsb oleh Ompu Tuan Nabolon pun, konon, tidak asal-asalan tapi harus bijaksana ("wise"), seperti cerita Raja Salomo yang bijak, karena dilahirkan oleh 2 orang istri. Ada istri pertama dan ada istri kedua. Istilah kerennya, poligami. Sebagai perbandingan, ingatlah Abraham. Anak-anaknya antara Ismael dgn Ishak. Yg lahir duluan, Ismael, namun lahir dari pembantu, Hagar. Maka Ishak yang lahir dari sang "permaisuri", yaitu Sarah, itulah yg diberkati oleh Abraham dan Yahwe yang disembah oleh Abraham. Sekedar perbandingan saja lah.

Raja NaiAmbaton

Keturunan Raja Naiambaton dikenal sebagai keturunan yang terdiri dari berpuluh-puluh marga yang tidak boleh saling kawin (ndang boi masiolian). Kumpulan persatuan rumpun keturunan Raja Naiambaton disebut dengan PARNA (Parsadaan Raja Nai Ambaton). Catatan: huruf R dalam kata PARNA bukan representasi 'raja', tapi PAR=Parsadaan ("persatuan"), NA=Nai Ambaton.
Raja Naiambaton atau yang dikenal dengan nama Tuan Sorba Dijulu adalah salah satu dari 3 keturunan Tuan Sorimangaraja. Tuan Sorba Dijulu merupakan cikal bakal 'parsadaan' marga-marga Batak terbesar dan terbanyak atau yang lebih dikenal dengan keturunan Raja NaiAmbaton atau PARNA.

Raja Naiambaton sendiri adalah gelar yang memiliki banyak arti dikalangan masyarakat Batak terutama bagi keturunan Naiambaton sendiri. Disatu sisi penempatan kata 'Nai' adalah untuk perempuan, dll. Namun sama halnya dengan anak Tuan Sorimangaraja seperti Tuan Sorimangaraja yang lain seperti Sorba Dijae (NaiRasaon), Tuan Sorba Dibanua (NaiSuanon). Namun satu hal yang perlu ditelaah adalah kesamaan dari 3 nama ini, dari 3 nama diatas, hanya NaiAmbatonlah yang hingga saat ini tabu untuk saling menikahi, tidak seperti keturunan NaiRasaon dan NaiSuanon yang sudah saling 'marsiolian'. Raja dari istrinya yang bernama NaiAmbaton dialah Tuan Sorba Dijulu, Ompu Raja Nabolon. Dengan begitu banyak versi, bukanlah jadi masalah penamaan Raja bagi NaiAmbaton, nama ini sudah ada sebelum saya lahir, banyak kemungkinan bisa terjadi arti dari Raja di penamaan NaiAmbaton, mungkin saja bila keturunan NaiRasaon tidak bisa saling menikahi, bukan tidak mungkin hingga saat ini kita dengar parsadaan Raja NaiRasaon, atau parsadaan Raja NaiSuanon.
Raja NaiAmbaton memiliki 5 orang putra dan 1 orang putri. Namun ke-6 anak-anak Raja NaiAmbaton ini berasal dari 2 orang istri. Dari istrinya yang pertama, setelah menikah Raja NaiAmbaton, istri pertama lama memiliki keturunan, lama menanti akhirnya Raja NaiAmbaton menikah kembali, dan dari pernikahan keduanya lahirlah tanpa waktu yang lama seorang putra pertama bagi Raja NaiAmbaton, diberilah anak tersebut dengan nama Raja Nabolon/Si Bolon Tua. Raja Nabolon memiliki arti tersendiri bagi Tuan Sorba Dijulu, yang merupakan kelak keturunan-keturunannya akan menjadi besar, dan itu terbukti saat ini keturunan Tuan Sorba Dijulu adalah keturunan kumpulan marga-marga terbesar di marga Batak. Sejak setelah itulah Tuan Sorba Dijulu lebih dikenal dengan nama Ompu Raja Nabolon. Kemudian dari istrinya yang kedua kembali lahirlah seorang putri, yang diberi nama Pinta Haomasan. Di satu sisi lama belum memiliki keturunan dari istri pertama, sedangkan dari istri kedua sudah melahirkan 2 orang anak, mengandunglah istri pertama Tuan Sorba Dijulu dan lahirlah seorang putra.

Kegembiraan Tuan Sorba Dijulu dan syukur kepada Mulajadi Nabolon yang mengaruniakannya 'hagabeon' dan kelengkapan keturunan dari kedua istrinya serta menghapus kekhawatirannya selama ini. Diberilah anak tersebut dengan nama Tamba Tua, yang memiliki arti bertambah lengkaplah keturunannya, sedangkan kata 'Tua' pun bagi orang Batak memiliki arti yang dalam dan bermakna. Setelah lahirnya Tamba Tua berturut-turut istri pertama Tuan Sorba Dijulu melahirkan kembali 3 orang putra, diberilah nama Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua.

Bagi orang Batak, anak laki-laki sulung adalah si pembawa nama bagi keluarganya. Dan apabila laki-laki menikahi 2 orang perempuan, keturunan dari istri pertamalah 'Raja Jolo' bagi keturunan laki-laki orang Batak tersebut, sekalipun dari istri kedua lebih dahulu memiliki keturunan dari istri pertama. Ini hampir terjadi dihampir semua orang Batak, terlebih orang Batak dulu atau nenek moyang dari masing-masing marga, hampir semua marga mengalami kisah yang sama terkait masalah ini.
Bagi Tuan Sorba Dijulu sendiri, inipun yang menjadi konflik bagi keturunannya. Kelak ketika anak-anak Tuan Sorba Dijulu semakin besar dan semakin mengerti akan adat budaya orang Batak, muncullah tanda tanya didalam pikiran masing-masing. Terlebih apabila Tuan Sorba Dijulu tidak pernah menceritakan, menyelesaikan sebelum anak-anak mereka mempermasalahkannya.

Terjadilah konflik diantara anak-anak Tuan Sorba Dijulu, terutama diantara sulung dari keturunan istri pertama dan kedua Tuan Sorba Dijulu yaitu antara Bolon Tua dengan Tamba Tua, Bolon Tua yang lahir lebih dulu dari istri kedua Tuan Sorba Dijulu telah dianggap sebagai sulung bagi Tuan Sorba Dijulu, Bolon Tua merupakan kesayangan dari Tuan Sorba Dijulu, kemanapun Tuan Sorba Dijulu pergi selalu mengajak anaknya Bolon Tua baik itu 'marmahan' atau berburu dan lainnya. Tamba Tua yang merasa bahwa dalam adat seharusnya dialah Raja Jolo karena dari istri pertama mempertanyakan hal itu kepada Tuan Sorba Dijulu dan Bolon Tua. Hal ini disadari setelah mereka besar dan paham akan adat budaya Batak, dimana pasti Si Bolon Tua lah yang memperoleh jambar ataupun ulos dll dalam acara adat. Karena perselisihan ini semakin meruncing, maka Tuan Sorba Dijulu dengan caranya menengahi Si Bolon Tua dan Tamba Tua dengan cara 'marultop' adu ultop antara Si Bolon Tua dan Tamba Tua dengan catatan siapa yang berdarah terkena ultop, maka dialah sianggian. Namun sebelum adu marultop itu terjadi, Tuan Sorba Dijulu menumpulkan ultop Tamba Tua dan membuat runcing/tajam ultop (anak panahnya) Si Bolon Tua. Mengapa Tuan Sorba Dijulu melakukan ini...??. Ada banyak kemungkinan, karena dia lebih menyayangi Si Bolon Tua, atau karena Si Bolon Tua adalah awal dari hagabeoni Tuan Sorba Dijulu, atau karena malu apabila selama ini Tuan Sorba Dijulu dianggap tidak mengerti adat karena selalu Si Bolon Tua lah yang menerima jambar/ulos dll dalam setiap acara, atau mungkin inilah cara yang paling tepat agar keturunannya berdamai, karena apabila Tamba Tua terbukti siakkangan, tentu Saragi Tua, Munthe Tua, Nahampun Tua yang umurnya jauh sekali dari Si Bolon Tua menjadi haha doli Si Bolon Tua, dan itu tentu membuat Si Bolon Tua menjadi sedih atau mungkin marsak atau mungkin pergi meninggalkan atau hal-hal lainnya. Kejadian marultop ini didengar oleh Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua juga Pinta Haomasan. Namun tak disangka, ketika Tuan Sorba Dijulu menumpulkan ultop Tamba Tua dan membuat runcing ultop Si Bolon Tua, hal ini dilihat oleh borunya Pinta Haomasan. Pinta Haomasan melihat semua yang dilakukan ayahandanya Tuan Sorba Dijulu.

Terjadilah adu ultop antara Si Bolon Tua dan Tamba Tua, dimana Tamba Tua lah yang berdarah oleh ultop Si Bolon Tua. Setelah kejadian ini, ditemui Pinta Haomasan lah Tamba Tua, dan memberitahukan kejadian tentang apa yang dilakukan ayah mereka Tuan Sorba Dijulu terhadap ultop Tamba Tua. Lalu, apa alasan Pinta Haomasan memberitahukan hal itu kepada Tamba Tua...?? Bukankah Si Bolon Tua adalah saudara satu rahim ibu dengan Pinta Haomasan dibandingkan Tamba Tua...??. Semenjak kecil, Si Bolon Tua selalu pergi bersama ayahnya, sedangkan Pinta Haomasan bertugas mengurus adik-adiknya yang masih kecil termasuk Tamba Tua. Dalam bahasa Bataknya dipatarus-tarus.

Perlu untuk kita ketahui, kejadian marultop terjadi ketika Si Bolon Tua, Tamba Tua sudah magod
ang, termasuk Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua. Semenjak muda dan belum menikah, tidak ada permasalahan akan siakkangan, karena sudah menikahlah baru kelihatan adat bagi orang Batak itu. Pembagian jambar, ulos, pasu-pasu, dan yang selalu tampil saat itu selalu Si Bolon Tua, disinilah mereka yang abang beradik itu baru mulai mempermasalahkannya, disaat mereka mulai menyadari makna dan mengerti adat istiadat itu sendiri, ditambah adik-adik Tamba Tua yang juga mulai menyadari dan mengerti, lalu disampaikan pada haha dolinya Tamba Tua untuk mempertegas masalah ini ke Tuan Sorba Dijulu. Jadi ke lima anak Tuan Sorba Dijulu sudah marhasohotan sebelum beberapa anak-anaknya pergi dari Pangururan termasuk borunya si Pinta Haomasan.

Kembali pada cerita sebelumnya, diceritakan Pinta Haomasan lah kepada ibotona Tamba Tua tentang apa yang telah diperbuat ayah mereka Tuan Sorba Dijulu. Tamba Tua merasa kecewa sekali, dan hal ini diceritakanlah kepada adik-adiknya Saragi Tua, Munthe Tua dan Nahampun Tua. Kemudian mereka sepakat untuk meninggalkan Pangururan. Rencana inipun didengar oleh itonya Pinta Haomasan, dengan bersedih hati karena rencana ito-itonya ini, Pinta Haomasan datang kerumah Tamba Tua dan membawa sipanganon lao paborhaton ibotona, sebagai bentuk tanda kasih sayang dan doa. Akhirnya pergilah Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua dari tanah Pangururan dengan perasaan sedih.

Disamping versi tersebut, ada versi lain yang mengatakan namun tidaklah berbeda jauh dari kisah diatas. Dikisahkan tidak sampai terjadi kejadian namarultop i, sebelum kejadian marultop, Pinta Haomasan sudah lebih dahulu memberitahukan Tamba Tua apa yang telah dilakukan Tuan Sorba Dijulu ayahanda mereka, dengan rasa kekecewaan dan sedih akhirnya Tamba Tua dan adik-adiknya sepakat untuk pergi dari tanah Pangururan. Lalu di versi yang lain dikatakan setelah kejadian marultop, muncul lah perasaan dendam Si Bolon Tua terhadap Tamba Tua dimana dia telah membuat masalah akan siakkangan, padahal saat marultop telah terbukti Tamba Tualah yang berdarah kena ultop Si Bolon Tua, dan Si Bolon Tua berencana membunuh Tamba Tua, namun rencana Si Bolon Tua diketahui Pinta Haomasan, dan dengan segera Pinta Haomasan memberitahukannya pada Tamba Tua, akhirnya Tamba Tua sepakat pergi meninggalkan tanah Pangururan bersama adik-adiknya.

Perlu untuk kita ketahui kembali, Pinta Haomasan menikah dengan Raja Silahi Sabungan, dan Tamba Tualah yang menikahkan Pinta Haomasan dengan Raja Silahi Sabungan disaksikan Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua. Saat itu Si Bolon Tua terlalu sibuk dengan urusannya bersama Tuan Sorba Dijulu marmahan, berburu, mengadu kesaktian sehingga Tamba Tualah yang mangamai Pinta Haomasan saat itu, dimana posisi Tamba Tua sudah menikah dengan boru Malau Pase. Namun hari-hari kegiatan Pinta Haomasan banyak dihabiskan bersama ibotona karena Raja Silahi Sabungan yang mengadu kesaktian di luar tanah Pangururan dan jarang kembali. Keturunan dari Pinta Haomasan adalah Silalahi Raja. Namun setelah Silalahi Raja besar dia tidak lagi dapat berkumpul dengan tulangnya Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua dan Nahampun Tua dan anak-anak tulangnya, karena Tamba Tua dan adik-adiknya serta keturunannya sudah pergi dari tanah Pangururan, sehingga hanya tinggal Si Bolon Tua dan keturunannya lah yang tinggal di tanah Pangururan. Oleh karena itu, Silalahi Raja menikahi boru tulangnya dari Si Bolon Tua, dan itu terjadi piga-piga sundut mangalap boru tulangna Si Bolon Tua. Karena sudah beberapa sundut mengambil boru tulangnya dari Si Bolon Tua, maka dikatakanlah Silalahi Raja boru sihabolonan ni Simbolon, karena sudah mengambil dari atas boru Simbolon. Selebihnya pihak Silalahi Raja lah yang lebih mengetahuinya.

Akhirnya Tamba Tua dan adik-adiknya menemukan tanah baru yang cocok untuk ditempati bersama semua keturunannya dan keturunan adik-adiknya, diberilah nama huta itu huta Tamba. Disinilah dimulai parserahan marga-marga mayoritas PARNA. Setelah menempati kampung yang baru dan membangun kampung tersebut, Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua sepakat untuk menghambat Si Bolon Tua. Tamba Tua di huta Tamba-Samosir, Saragi Tua pergi ke Simalungun, Munthe Tua ke tanah Karo, dan Nahampun Tua ke Dairi. Namun belum diketahui apakah turut serta membawa keturunannya, namun berdasarkan tano parserahan marga-marga PARNA keturunan Saragi Tua, Munthe Tua, Nahampun Tua, keturunannya ada yang ikut dan ada yang tidak ikut. Saragi Tua memiliki 2 anak, Ompu Tuan Binur dan Raja Saragi, Saragi Tua membawa Raja Saragi ke tanah Simalungun sedangkan Ompu Tuan Binur tinggal di huta Tamba. Setelah tiba di tanah Simalungun, Raja Saragi menikah di tanah Simalungun dan memiliki keturunan, lama di tanah Simalungun Saragi Tua memutuskan kembali ke kampungnya di huta Tamba, namun Raja Saragi tidak ingin lagi kembali ke huta Tamba, tetapi salah satu keturunan Raja Saragi ikut bersama opungnya Saragi Tua kembali ke huta Tamba. Keturunan Raja Saragi yang tinggal di tanah Simalungun ini diketahui adalah cikal bakal marga Sumbayak, dan yang kembali ke huta Tamba adalah cikal bakal marga Sidabukke yang kemudian merantau ke Simanindo yang saat ini mayoritas bukanlah bagian dari punguan Parna lagi karena kejadian dimana cucu dari Raja Saragi yang bernama Raja Sinalin yang dari huta Tamba merantau ke Simanindo Sibatu-batu menikahi itonya sendiri boru Napitu. Dan hingga saat ini sudah banyak Sidabukke menikahi boru Parna, dan marga Parna sendiri menikahi boru Sidabukke, hanya minoritas yang mengatakan masih Parna. Mengapa begitu…?? Ini ada kisahnya sendiri mengapa sampai masih ada minoritas Sidabukke yang mengatakan Parna, akan dibahas di lain kesempatan. Ketika Saragi Tua kembali ke huta Tamba, keturunannya sudah merantau dari huta Tamba, dan menemukan tanah baru yang kelak dinamakan Huta Simarmata.

Lalu Munthe Tua dan anak seorang anaknya ikut ke tanah Karo, anak dari Munthe Tua ini diketahui adalah Ompu Jelak Karo yang akhirnya tidak mau kembali dan menetap di tanah Karo. Anak dari Munthe Tua sendiri ada tiga, Raja Sitempang, Ompu Jelak Maribur, dan Ompu Jelak Karo. Namun yang ikut ke huta Tamba hanyalah Ompu Jelak Maribur dan Ompu Jelak Karo, namun karena Ompu Jelak Karo mengikuti Munthe Tua ke tanah Karo namun enggan kembali, yang kembali hanya Munthe Tua ke tanah Tamba dan tinggalah Ompu Jelak Maribur beserta keturunannya. Lalu bagaimana dengan anaknya yang pertama Raja Sitempang…??

Raja Sitempang tidak ikut Munthe Tua dari tanah Pangururan ke huta Tamba disebabkan ketika Raja Sitempang lahir, Munthe Tua langsung mengasingkan Raja Sitempang jauh ke pusuk buhit, tidak ada yang tau akan hal ini. Sehingga ketika kejadian namarultop Raja Sitempang tidak tahu menahu akan hal tersebut. Sedikit tentang Raja Sitempang, Raja Sitempang diasingkan ke pusuk buhit, Raja Sitempang tidak tau sama sekali apa yang terjadi di kampung halamannya di Pangururan. Baik itu kejadian ultop, menikahnya namboru Pinta Haomasan dll. Raja Sitempang diasingkan oleh karena (sattabi sangap di ompui) cacat fisik yang dideritanya. Lama diasingkan dipusuk buhit, Raja Sitempang bertemu dengan seorang gadis yang juga ternyata diasingkan orangtuanya, gadis ini memiliki nasib yang sama dengan Raja Sitempang yang cacat fisik, Raja Sitempang tidak mengetahui siapa gadis ini yang adalah anak dari namboru kandungnya Pinta Haomasan, begitu juga dengan gadis tersebut tidak mengetahui Raja Sitempang adalah anak dari tulangnya Munthe Tua. Karena saling tidak mengetahui siapa masing-masing diri mereka, yang sebenarnya mereka ada sepupu kandung akhirnya mereka saling mengasihi dan menikah, namun tidak ada keturunan yang dihasilkan dari pernikahan ini. Dalam hal ini, Raja Sitempang satu level dengan Si Boru Marihan, yang adalah nama si gadis tersebut. Lama dipusuk buhit, tanpa ada yang tau persis penyebabnya, diketahui Raja Sitempang kembali normal seperti manusia biasanya. Dikatakan dia bersemedi di pusuk buhit meminta pada Mulajadi Nabolon untuk kesembuhannya dan Mulajadi Nabolon mengabulkannya. Bukan hanya sembuh, Raja Sitempang juga memiliki cukup kesaktian dalam dirinya. Setelah kenormalan fisik Raja Sitempang, dia memutuskan kembali ke kampung halamannya ke tanah Pangururan. Tanah Pangururan yang didatanginya tidak sama dengan tanah Pangururan yang telah lama ditinggalkannya, dia tidak lagi menemukan Munthe Tua, bapatuanya Saragi Tua, Tamba Tua dan bapaudanya Nahampun Tua yang dia temui hanyalah keturunan dari Si Bolon Tua.

NB : kisah Si boru Marihan pun masih menjadi simpang siur bila dikaitkan dengan versi Silalahi, namun kisah di atas diambil dari versi Sitanggang. Mohon maaf apabila dari pihak Silalahi menganggap ini salah, karena pada dasarnya penulis mengambil hanya mengaitkan dari versi Sitanggang saja. Dalam satu versi Raja Sitempang dan Siboru Marihan tidak memiliki anak, disatu sisi memiliki anak yang bernama Raja Hatorusan bukan Raja Natanggang.

Nahampun Tua pergi ke Dairi, diketahui hanya Nahampun Tualah yang tidak kembali lagi ke huta Tamba, Nahampun Tua lama dan menetap di Dairi. Namun ada 2 versi yang mengatakan, keturunan Nahampun Tua adalah si Onom Hudon, namun versi yang lebih sering diceritakan adalah Nahampun Tua tidak berketurunan anak laki-laki, hanya anak perempuan saja. Di tanah Dairi Nahampun mewariskan warisan, namun karena tidak memiliki anak laki-laki hanya anak perempuannyalah yang mengurus, atau bahkan rumah/tanah Nahampun Tua di Dairi tidak ada yang mengurus. Lama puluhan tahun kemudian, datanglah anak rantau ke tanah Dairi, Raja Huta setempat tentu menanyakan siapa gerangan anak rantau ini, setelah diketahu bahwasanya anak rantau ini adalah keturunan Si Bolon Tua maka Raja Huta pun mengatakan bahwa di tanah Dairi ini ada peninggalan opung anak rantau ini, opung yang adalah adik dari opung mereka Si Bolon Tua, dan Raja Huta mengatakan agar anak rantau ini menempati tanah warisan dan peninggalan Nahampun Tua. Diketahui anak rantau ini adalah keturunan Si Bolon Tua dari Tuan Nahoda Raja yang bernama Tuan Seul. Akhirnya Tuan Seul tinggal dan menetap di tanah Dairi, dan memiliki 7 keturunan anak laki-laki, diantaranya Simbuyak-buyak (meninggal), Tinambunan, Tumanggor, Maharaja, Turutan, Pinayungan dan Nahampun. Alasan Tuan Seul memberikan nama anak bungsu laki-lakinya Nahampun adalah sebagai bentuk penghormatan dan mengenang Nahampun Tua, karena saat ini Tuan Seul lah yang menempati dan menggunakan warisan serta peninggalan Nahampun Tua di tanah Dairi.

Namun tidak dapat dipastikan berapa lama Saragi Tua di Simalungun dan kembali ke huta Tamba, Munthe Tua di tanah Karo dan kembali ke huta Tamba, juga Nahampun Tua di tanah Dairi.
Dari kisah ultop diatas, adanya kata sepakat Simbolon Tua adalah haha doli Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua dan Nahampun Tua, sebab itulah poda ni da ompung Ompu Raja Nabolon, dipillit ompung i do Si Bolon Tua gabe Raja Jolona, Ido umbahen goar ni Tuan Sorba Dijulu ima Ompu Raja Nabolon.
Kembali pada kisah Raja Sitempang…

Raja Sitempang pulang ke tanah Pangururan dan tidak menemukan keluarganya, akhirnya Raja Sitempang memutuskan untuk mencari sembari mengadu kesaktian karena Raja Sitempang saat ini adalah seorang yang memiliki kesaktian dan tidak bercacat fisik seperti dulu ketika diasingkan. Ketika Raja Sitempang pulang ke tanah Pangururan, dia hanya dapat menemukan keturnan Si Bolon Tua yaitu Tuan Nahoda Raja yang adalah anak abangnya Suri Raja. Perbedaan umur Suri Raja dengan Raja Sitempang cukup jauh, dikarenakan Si Bolon Tua yang lahir lebih dulu jauh dibandingkan Munthe Tua, kemudian Raja Sitempang yang lama menikah karena lama diasingkan ke pusuk buhit mengakibatkan ketertinggalan umur yang cukup jauh.

Pergilah Raja Sitempang memulai perjalanannya, lama mencari namun tak kunjung dia temukan, alhasil tibalah Raja Sitempang di sebuah kampung di Dairi dikampung marga Mataniari, disana dia dijamu dan mengobati orang-orang yang sakit juga membela kampung tersebut dari peperangan (banyak cerita dan versi terkait ini). Karena jasanya, dan keakrabannya hal yang lumrah dijaman dulu adalah memberikan putri dari Raja Huta tersebut untuk dinikahi, disinilah Raja Sitempang menikahi si boru Porti Mataniari. Dalam versi Sitanggang, Tuan Sorba Dijulu digelari Datu Sindar Mataniari yang nama tersebut adalah nama ciri khas dari daerah Dairi, adapun gelar tersebut karena jasa-jasa yang telah dilakukan Raja Sitempang terhadap kampung tersebut, maka Raja Mataniari pun mengatakan Raja Sitempang adalah anak dari seorang datu yang hebat, muncullah gelar Datu Sindar Mataniari, keturunan datu (dukun) yang memberikan sinar pada kampung Mataniari (sinar disini adalah keberuntungan). Dinikahilah si boru Porti Mataniari, dan dibawa Raja Sitempang ke kampung halamannya. Raja Sitempang pun memutuskan menghentikan pencarian karena lama sudah tidak ditemukannya. Raja Sitempang sendiri setelah menikah dan mengetahui adat istiadat menyadari kalau dari ibu, mereka lebih sulung dibandingkan keturunan Si Bolon Tua, disinilah kemudian banyak muncul versi kembali. Apakah Raja Sitempang tidak mau membuka adat istiadat yang sudah terbiasa dilakukan apalagi setelah lama dia diasingkan ke pusuk buhit dan lama tidak kembali ke tanah Pangururan, dan versi dimana namborunya Pinta Haoamasan telah menceritakan kejadian yang terjadi di tanah Pangururan yang membuat Raja Sitempang pergi mencari ayahandanya. Karena itu Raja Sitempang tidak mau mengungkit kembali.

Di tanah Pangururan, si boru Porti Mataniari melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Raja Natanggang, disamping disaat itu di Pangururan Tuan Nahoda Raja pun sudah menikah dengan boru Tobing dan melahirkan anak laki-laki selang beberap tahun setelah Raja Natanggang lahir. Raja Natanggang bertumbuh besar dan menikahi boru Naibaho anak dari Raja Naibaho yang juga adalah penguasa di Pangururan (perlu kita ketahui, Pangururan itu besar dan luas). Raja Naibaho ini memiliki 2 orang putri, putri pertamanya dinikahi oleh Raja Natanggang. Setelah itu, anak Tuan Nahoda Raja menikahi boru Naibaho yang adalah adik kandung dari istri Raja Natanggang. Disini anak Tuan Nahoda Raja menjadi naik satu level dengan Raja Natanggang. Karena dari umur dan dari parparibanan, Raja Natanggang adalah abang dari anak Tuan Nahoda Raja ini. Tuan Nahoda Raja adalah siakkangan keturunan dari Simbolon Tua. Karena terbiasa selama ini jambar, ulos, pasu-pasu, yang selalu tampil dll diberikan terlebih dahulu kepada Simbolon Tua dan keturunannya, maka semenjak parpariban ini itu dipertanyakan Raja Natanggang, bagaimana bisa adiknya yang manjalo jambar dohot akka na asing…??. Ditambah Raja Natanggang tahu kalau dari parsonduk ni da opung Tuan Sorba Dijulu mereka dari istri pertama. Namun keturunan Simbolon Tua tidak menerima itu, disebabkan adat istiadat yang telah terbiasa dilakukan merekalah yang selalu menerima. Keturunan dari adik-adik Tuan Nahoda Raja protes kepada abang mereka, dan karena Tuan Nahoda Raja adalah sulung dari keturunan Simbolon Tua maka anak Tuan Nahoda Raja wajib menyampaikannya kepada Raja Natanggang. Perbedaan pendapat pun terjadi, hingga sampai ke telinga hula-hula Naibaho yang mertua dari Raja Natanggang dan anak Tuan Nahoda Raja ini. Dengan fungsinya sebagai hula-hula, siboan dame, akhirnya kata damai lah yang diberikan sang mertua Raja Naibaho kepada kedua helanya agar tidak mempermasalahkan masalah tersebut, karena Raja Naibaho tau disatu sisi Raja Natanggang adalah siakkangan dari parparibanan, disatu sisi anak Tuan Nahoda Raja adalah siakkangan bila dilihat dari keturunan dan poda ni Ompu Raja Nabolon, maka keluarlah istilah Ipar-Ipar Partubu, rap marsihahaan rap marsianggian. Karena dari leluhur mereka dekat, namun kedekatan itu dipererat dengan sama-sama menikahi boru Naibaho, marabang ma anak ni Tuan Nahoda Raja tu Raja Natanggang, alana siakkangan pinompar ni Simbolon Tua manjou abang tu Raja Natanggang, gabe dohot ma akka angina manjou abang tu Raja Natanggang. Dan itu menjadi terbiasa hingga turun-temurun di kedua marga itu, untuk itu bila di Pangururan lebih digunakan istilah ise do parjolo tubu ima siakkangan sian ise parpudi tubu, marabang molo tu ise naparjolo tubu. Sama seperti di jaman sekarang, ada marga Napitu menikahi boru Damanik, dan marga Sidabutar menikahi boru Damanik yang adalah adik kandung dari boru Damanik yang dinikahi marga Napitu, dalam tutur Sidabutar tentu memanggil abang ke marga Napitu. Hal ini hamper banyak kita temui di lingkungan kekerabatan orang Batak.

Di satu sisi dari berbagai macam versi, ada juga yang mengatakan Raja Sitempang itu adalah gelar dari Munthe Tua, dimana Raja Natanggang adalah pahompunya, versi lain mengatakan Raja Sitempang adalah anak Tuan Sorba Dijulu, hanya saja dalam versi ini (versi Sitanggang) tidak ada Raja Batak, yang paling atas adalah Tuan Sorimangaraja dengan 2 anaknya Raja Isumbaon dan Guru Tatea Bulan, Raja Isumbaon memiliki 3 orang anak yaitu Tuan Sorba Dijulu (Datu Sindar Mataniari), Tuan Sorba Dijae, Tuan Sorba Dibanua. Tuan Sorba Dijulu memiliki 3 anak, Guru Sodungdangon (yang tidak jelas kisahnya), Raja Sitempang dan Raja Nabolon. Namun di Munas Sigalingging dimana Sigalingging adalah marga manjae Raja Sitempang memiliki silsilah yang berbeda dengan versi Sitanggang itu sendiri, namun sama dengan versi Parna pada umumnya, namun menjelang tahun 2005 keatas versi mereka bergeser mengikuti Sitanggang, dan direncanakan akan ada Re-Silsilah dan mengadakan Munas kedua kali di tahun 2017 mendatang (menurut info yang diketahui).

Hal ini memiliki keterkaitannya dengan Kapala-Kapala Nagari pemberian Belanda yang datang ke Samosir dengan mengumpulkan Raja-Raja Bius/Huta di Pangururan, namun ada Raja-Raja yang datang ada juga yang tidak bersedia datang namun tanpa sepengetahuan si Raja, adiknya mewakili dan lain-lainnya. Disinilah dimulainya orang Batak melek teknologi dan mengalami kemajuan, karena Raja-Raja yang datang tersebut selain diberi wilayah kekuasaan dan gelar Kapala Nagari, mereka juga diajarkan baca tulis dan pengetahuan lainnya seperti bercocok tanam yang baik, membuat keterampilan dan lain-lain, itu dapat kita lihat dimana ada marga-marga Batak yang maju, contohnya di Parna itu sendiri, marga-marga Simbolon dan Sitanggang adalah marga-marga yang orang-orangnya lebih dulu maju, terlihat dari jabatan, prestasi dan kemampuan mereka di berbagai bidang profesi. Karena sifat orang Batak, melihat dongan tubuna sukses, agar dapat dibantu terjadilah perubahan tutur, ini juga turut mempengaruhi, karena sukses dan agar dibantu yang butuh bantuan memanggil abang kepada yang sukses, dan yang sukses karena merupakan satu keuntungan terlepas dia tau partuturan atau tidak mereka biasanya hanya diam. Banyak sekali terjadi perubahan karena faktor politik (Kapala Nagari), ekonomi, status sosial dan lain-lain. Karena faktor-faktor tersebut dan semakin modernnya jaman, tidak lagi mempedulikan yang namanya partuturan yang penting asal bisa makan saja dulu. Namun lambat laun kemajuan teknologi itu akan merata, akan muncul orang-orang hebat dan sukses dari marga-marga yang jarang tampil di depan publik, dan mereka biasanya lambat laun memahami, menyadari adanya perubahan yang terjadi, sekalipun orang-orang tua telah menganut paham yang keliru dijaman mereka karena faktor kebutuhan untuk hidup di tanah perantauan. Ini akan dijelaskan di kisah Kapala Nagari di Tanah Batak.

Nai Rasaon

Nai Rasaon adalah kelompok marga-marga dari suku bangsa Batak Toba yang berasal dari daerah Sibisa. Marga-marga keturunan Nai Rasaon adalah Manurung, Sitorus (menurunkan Pane, Dori, Boltok), Sirait, Butarbutar.
Si Raja Batak adalah S-1, Raja Isumbaon - setaraf dengan Guru Tatea Bulan adalah S-2, maka Tuan Sorimangaraja (anak Raja Isumbaon) adalah S-3. Dari Ibu, Nai Rasaon (nama kecil: si Boru Bidinglaut, Istri II Tuan Sorimangaraja (S-3)/Anak no. 2 Ompu Raja Isumbaon (S-2)) beranak satu, yaitu Datu Pejel/Ompu Tuan Sorbadijae. (S=Sundut/generasi). Datu Pejel, dua anaknya sekali lahir (kembar-dua), namun tidak sebagaimana umumnya lahir kembar secara satu per satu, melainkan lahir kembar-dua di dalam satu "lambutan". Yang dimaksud lambutan, barangkali adalah jaringan selaput yang membungkus bayi ketika di dalam kandungan. Pada waktunya yang tepat dikemudian hari diberi nama: Raja Mangarerak dan Raja Mangatur si "Dua-sahali tubu". Pomparan Raja Toga Manurung berkembang dari Raja Mangarerak; Sementara pomparan Raja Toga Sitorus, Raja Toga Sirait dan Raja Toga Butarbutar berkembang dari Raja Mangatur. Meski empat marga ini sesungguhnya berasal dari satu Ompu, Datu Pejel, namun umumnya, berawal dari wilayah Porsea ke-empat marga ini sudah saling kawin-mawin. Maka prinsip satu keluarga besar "na so boi mar-si-oli-an" telah ditinggalkan. Proses ini diperkirakan sudah dimulai sejak 5 - 6 generasi sebelum generasi yang sekarang, atau kira-kira 200 tahun yl, sedangkan di wilayah asal/asli Sibisa dan Ajibata perasaan bersaudara itu masih kental. Namun di wilayah Ajibata, antara Sirait dan Manurung, pada generasi yang sekarang, telah ada yang memulai kawin-mawin. Sementara antara Sirait terhadap Sitorus dan Butarbutar belum ada yang memulai, tetapi di daerah perantauan seperti di pulau Jawa telah ada yang merintis.

Tuan Sorbadibanua

Tuan Sorbadibanua mempunyai 8 (delapan) putra, yaitu:
  1. Sibagotnipohan
  2. Sipaettua(Pangulu Ponggok, Partano Nai Borgin,Puraja Laguboti(Pangaribuan,Hutapea)
  3. Silahisabungan
  4. Raja Oloan
  5. Raja Hutalima
  6. Raja Sumba
  7. Raja Sobu
  8. Raja Naipospos

Sibagotnipohan

Sibagotnipohan sebagai cikal-bakal marga Pohan mempunyai 4 (empat) putra, yaitu:
  1. Tuan Sihubil, sebagai cikal-bakal marga Tampubolon dan cabang-cabangnya
  2. Tuan Somanimbil, sebagai cikal-bakal marga Siahaan, Simanjuntak, dan Hutagaol
  3. Tuan Dibangarna, sebagai cikal-bakal marga Panjaitan, Silitonga, Siagian, Sianipar, dan cabang-cabangnya
  4. Sonak Malela, menurunkan marga Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, dan Pardede

Sipaettua

Marga-marga keturunan Sipaettua, antara lain: Hutahaean, Hutajulu, Aruan, Sibarani, Sibuea, Pangaribuan, dan Hutapea

Silahisabungan

Tarombo Sidabutar versi Pitu Raja Ambarita.
Delapan Anak Keturunan Silahisabungan dari 2 istri yakni:
Istri Pertama, Pingganmatio Padangbatanghari, anaknya:
  1. Loho Raja (Sihaloho)
  2. Tungkir Raja (Situngkir)
  3. Sondi Raja (Rumasondi)
  4. Butar Raja (Sidabutar)
  5. Debang Raja (Sidebang)
  6. Bariba Raja (Sidabariba)
  7. Batu Raja (Pintubatu)
  8. Tambun Raja Alias Raja Itano Alias Raja Tambun (Tambun, Tambunan, Daulay); anak dari istri keduanya, Sinailing Nairasaon.
Selain marga pokok di atas masih ada lagi marga marga cabang keturunan Silahisabungan, yakni Sipangkar, Sembiring, Sipayung, Silalahi, Dolok Saribu, Sinurat, Nadapdap, Naiborhu, Maha, Sigiro, dan Daulay.
Versi lain yang menunjukkan ke eksistensi-annya dan tidak terpungkiri dengan fakta-fakta yang ada dilapangan maupun silsilah dan pesan orangtua-orangtua terdahulu hingga 4 generasi adalah keturunan Silahisabungan mempunyai Sembilan Keturunan (tanpa menghilangkan marga saudara yang lain), Ompu Silahisabungan mempunyai 3(tiga) Istri yakni:
Istri Pertama, Pintahaomasan boru baso bolon, anaknya:
1. Silahi Raja (Silalahi)
Istri Kedua, Pinggan matio boru Padang batanghari, anaknya:
1. Loho Raja ( Sihaloho)      2. Tungkir Raja ( Situngkir)      3. Sondi Raja (Rumasondi)      4. Butar Raja (Sinabutar)      5. Bariba Raja (Sidabariba)      6. Debang Raja (Sidebang)      7. Batu Raja (Pintu Batu)
Istri Ketiga, Milingiling boru Mangarerak, anaknya:
1. Raja Tambun (Tambunan)
Silahi Raja (Silalahi) memperanakkan:      1. Siraja Tolping      2. Bursok Raja      3. Raja Bunga-bunga
Dari istri pertama Pinta Haomasan boru Baso Nabolon[1], Sauhut (saudara) marga Bolon Tua, Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua lahirlah Silalahi Raja. “Dari Silalahi Raja ini lahirlah 3 putra yakni Raja Tolping Silalahi, Bursok Raja Silalahi/Pangururan, Raja Bunga-bunga Silalahi/Parmahan di Balige. Keturunan marga Bolon Tua bersaudara di atas,sampai saat ini konsisten dalam pelaksanaan adat yang menyebut Silalahi Raja sebagai boru Sihabolonan.

Raja Oloan

Raja Oloan mempunyai 6 (enam) orang putra, yaitu:
  1. Naibaho yang merupakan cikal-bakal marga Naibaho dan cabang-cabangnya.
  2. Sigodang Ulu yang merupakan cikal-bakal marga Sihotang dan cabang-cabangnya.
  3. Bakara yang merupakan cikal-bakal marga Bakara.
  4. Sinambela yang merupakan cikal-bakal marga Sinambela.
  5. Sihite yang merupakan cikal-bakl marga Sihite.
  6. Manullang yang merupakan cikal-bakal marga Manullang.

Raja Hutalima

Raja Hutalima tidak mempunyai keturunan.

Raja Sumba

Tarombo Silaban, Suku Batak Toba.
Raja Sumba mempunyai 2 (dua) orang putra, yaitu:
  1. Simamora, yang merupakan cikal-bakal marga Purba, Manalu, Simamora Debata Raja, dan Rambe.
  2. Sihombing, yang merupakan cikal-akal marga Silaban, Sihombing Lumban Toruan, Nababan, dan Hutasoit.

Raja Sobu

Marga-marga keturunan Raja Sobu, antara lain: Sitompul dan si Raja Hasibuan. Dari si Raja Hasibuan berkembang lagi, yang tetap tinggal di Toba tetap Hasibuan, sedang "pomparan" Ompu Guru Mangaloksa yang merintis hidupnya ke wilayah Silindung, anak-anaknya berkembang menjadi si Raja Nabarat (Hutabarat), si Raja Panggabean (cabangnya,Simorangkir), si Raja Hutagalung dan si Raja Hutatoruan. Si Raja Hutatoruan dua anaknya, itulah Hutapea (Silindung/Tarutung, beda dari Hutapea - Toba/Laguboti), dan Lumbantobing (biasa disingkat L. Tobing=Lumbantobing). Marga-marga tsb (di luar marga Hasibuan), secara "specific" pomparan Guru Mangaloksa dinamai "Pomparan ni si Opat Pu(i)soran". Mana ejaan yang benar dalam bahasa Batak, antara Pusoran atau Pisoran, entahlah. Marga-marga tersebut di atas masih tetap alias belum bercabang hingga sekarang. Kecuali pencabangan untuk tujuan penyebutan internal, semisal Hutabarat. Ada Hutabarat Sosunggulon, Hutabarat Hapoltahan, Hutabarat Pohan. Dari tataran ini barulah dibagi lagi menjadi "mar-ompu-ompu". Sebagai catatan, khusus dari pomparan Guru Mangaloksa, setiap anggota marga-marga tersebut mengingat nomornya masing-masing, termasuk Boru. Semisal di Hutabarat, berkenalan seorang Hutabarat dengan seorang lain Hutabarat. Tidak lagi ditanya, Hutabarat Sosunggulon? atau Hapoltahan? atau Pohan? dst. Tetapi langsung ditanya, "nomor berapa"?, termasuk Boru. Sehingga masing-masing tahu "standing position", memanggil abang/adik, bapatua/bapauda, dst, termasuk "tutur" untuk Boru. Hal seperti ini perlu dicontoh karena dapat memotivasi orang lain mencari asal usul ("identitas") "ha-batahonna", tentu setelah indentitas keyakinan dan kepercayaan masing-masing individu.

Raja Naipospos

Raja Naipospos mempunyai 5 (lima) orang putra yang secara berurutan, yaitu:
  1. Donda Hopol yang merupakan cikal-bakal marga Sibagariang.
  2. Donda Ujung yang merupakan cikal-bakal marga Hutauruk.
  3. Ujung Tinumpak yang merupakan cikal-bakal marga Simanungkalit.
  4. Jamita Mangaraja yang merupakan cikal-bakal marga Situmeang.
  5. Marbun yang merupakan cikal-bakal marga Marbun Lumban Batu, Marbun Banjar Nahor, Marbun Lumban Gaol.

Padanan atau janji antar marga (Janji Matogu)

Dalam suku bangsa Batak, selain marga yang satu nenek moyang (satu marga) ditabukan untuk saling kawin, dikenal juga padan (janji atau ikrar) antar marga yang berbeda untuk tidak saling kawin. Marga-marga tersebut sebenarnya bukanlah satu nenek moyang lagi dalam rumpun persatuan atau pun paradaton, tetapi marga-marga tersebut telah diikat padan (janji atau ikrar) agar keturunan mereka tidak saling kawin oleh para nenek moyang pada zaman dahulu. Antar marga yang diikat padan itu disebut dongan padan.
Marga-marga yang mempunyai padan khusus untuk tidak saling kawin, antara lain:
  1. Manurung dengan Simamora (Debata Raja)
  2. Sihotang dengan Naipospos (Marbun)
  3. Naibaho dengan Sihombing Lumban Toruan
  4. Nainggolan dengan Siregar
  5. Tampubolon dengan Silalahi
  6. dan lain sebagainya

Sihotang dengan Naipospos (Marbun)

Seluruh keturunan Raja Naipospos diikat janji (padan) untuk tidak saling kawin dengan keturunan Raja Oloan yang bermarga Sihotang. Sehingga Sihotang disebut sebagai dongan padan. Memang pada awalnya pembentuk janji ini adalah Marbun. Namun ditarik suatu kesepakatan bersama bahwa keturunan Raja Naipospos bersaudara (na marhahamaranggi) dengan keturunan Sihotang. Hal ini dapat dilihat bersama bahwa hingga saat ini seluruh marga Naipospos Silima Saama (Sibagariang-Hutauruk-Simanungkalit-Situmeang-Marbun) tidak ada yang kawin dengan marga Sihotang.
Pengalaman di lapangan bahwa memang ada-ada saja orang yang mempersoalkan padan ini. Mereka mengatakan bahwa hanya Marbun sajalah yang marpadan dengan Sihotang tanpa mengikutsertakan Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang. Perlu diketahui bersama bahwa telah ada ikrar (padan) para nenek moyang (ompu) bahwa padan ni hahana, padan ni angina; jala padan ni angina, padan ni hahana (ikrar kakanda juga ikrar adinda dan ikrar adinda juga ikrar kakanda). Benar Marbunlah pembentuk padan pertama terhadap Sihotang. Tetapi oleh karena Marbun sebagai anggi doli Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang, maka turut juga serta dalam padan dengan Sihotang. Contoh lain dapat pula dilihat bersama bahwa sesungguhnya Sibagariang tidaklah ada ikrar (padan) sama sekali untuk tidak saling kawin (masiolian) dengan Marbun. Tetapi oleh karena Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang marpadan dengan Marbun untuk tidak saling kawin maka Sibagariang pun turut serta dengan sendirinya oleh karena ikrar (padan) para nenek moyang (ompu) yang telah disebutkan di atas. Sehingga suatu padan yang umum bahwa keturunan Raja Naipospos dari istri I (Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang) tidak boleh saling kawin dengan keturunan Raja Naipospos dari istri II (Marbun).
Demikian pula halnya seluruh marga-marga keturunan Raja Napospos (Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun Lumban Batu, Marbun Banjar Nahor, dan Marbun Lumban Gaol) tidak boleh saling kawin dengan keturunan Sihotang.
 

Mau Belanja Di WhatsApp Saja Mudah

WhatsApp.com