Friday 18 March 2016

Begini Gaya Zaskia Gotik Saat Hina Lambang Negara

- Zaskia Gotik tengah tersandung masalah. Ketika tampil di salah satu acara musik di televisi swasta, Selasa (15/3/2016), pelantun "Satu Jam Saja" tersebut berulang kali memberikan pernyataan yang dianggap melecehkan lambang negara.
Insiden itu sendiri dimulai ketika Zaskia, Julia Perez, dan Ayu Ting-Ting bermain kuis yang dipandu oleh Denny Cagur, salah satu pembawa acara.

Saat ditanya kapan proklamasi Indonesia dikumandangkan, Zaskia menuliskan "sesudah azan subuh" sebagai jawaban. Pernyataan nyeleneh tersebut semakin membuat penonton ternganga saat dirinya menuliskan "32 agustus" sebagai tanggal proklamasi.
Tak berhenti di situ, Zaskia kembali membuat kehebohan tatkala ditanya soal lambang dari sila kelima pancasila. Di saat Julia Perez dan Ayu Ting Ting menjawab padi dan kapas, dia justru menulis "bebek nungging".
Kontan, tak lama setelah acara selesai, Zaskia Gotik langsung mendapat protes dari banyak netizen. Mereka merasa geram dengan tingkah Zaskia yang dianggap tak peka dengan kehormatan negara.

by

Cinta dan Budaya



Ujian Nasional telah selesai. Perasaanku bercampur aduk antara senang dan gelisah, namun biarkanlah pengumuman dua bulan lagi, masih ada waktu untuk bersenang-senang. Teman-temanku, Aldi, Sarah, Fitri, dan Kamal mengajakku untuk liburan.

“Hai teman-teman, gimana nih? UN udah selesai loh..” kata Aldi saat kami berlima berkumpul di kantin.
“Gimana kalau kita liburan ke daerah asal Ayahku?” sahut Sarah.
“Apa bagusnya di sana?” kataku.
“Tenang aja, aku jamin kali ini bakalan seru dan menguji nyali kita nih..” sanggah Sarah.
“Ngomong-ngomong di mana tempatnya?” tanya Kamal.
“Udah, ikut aja!” senggak Sarah.
“Oke, kalau begitu kapan kita akan ke sana?” tanya Aldi.
“Dua hari lagi. Gimana?” ujar Sarah.
“Oke.”jawab kami berempat.
Dua hari sudah terlewat sejak perbincangan itu. Dan sampailah di hari tersebut, tepat pukul delapan pagi kami berkumpul di rumah Sarah. Dan saat itu temanku dan juga orang yang aku cintai sudah ada di sana.
Mulai beriklan




“Hai teman-teman.” sambutku.
“Hai.” jawab semua temanku.
“Ki, kamu udah bawa perlengkapan?” tanya Aldi padaku.
“Udahlah..” jawabku.
Akhirnya Sarah meminta izin kepada orangtuanya untuk pergi ke tempat asal ayahnya.
“Yah. Aku, Fitri, Aldi, Kamal, dan Riski ingin main ke rumah Nenek dan kakek untuk beberapa hari..” pinta Sarah.

“Iya. Ayah kirim salam buat Bapak dan Ibu di sana, dan kamu hati-hati ya!” jawab ayah.
“Ok yah.. Dah..” jawab Sarah sambil mencium tangan ayah dan ibunya dan berpamitan.
Kami berlima pun berangkat naik bus menuju stasiun, karena memang kami merencanakannya dengan naik kereta agar lebih seru dan mengesankan. Aku senang sekali, berlibur dengan teman-temanku terutama Fitri dia adalah cewek yang aku sukai sejak kelas satu SMA. Menurutku, Fitri adalah cewek yang cantik, baik, ramah, dan juga pendiam. Namun, aku tidak pernah tahu isi hatiku sama tidak seperti isi hatinya, apakah dia juga menyukaiku? aku masih tidak tahu, mungkin ia tidak suka. Aku adalah orang yang jika suka seseorang tidak langsung mengungkapkannya. Aku berharap liburan ini aku bisa tahu bahwa aku dan Fitri saling mencintai.

Pukul sembilan tepat. Aku dan teman-temanku sampai di stasiun. Dan kereta pun sudah datang, kami naik kereta dengan nomor kursi yang berdekatan. Aku sangat gemeteran duduk di samping Fitri, karena memang aku yang bertugas memesan tiket keretanya dan aku pula yang membaginya, aku sudah sengaja ingin membagi tiket Fitri agar tepat duduk di sampingku, dan ternyata benar-benar tepat perkiraanku. Walupun begitu aku tetap tenang hanya sedikit berbincang dengan Fitri soal kuliah dan UN. Hatiku senang sekali melihat wajahnya dan senyumannya yang menawan. Namun, aku sadar wajahku tidaklah tampan, bukannya mau merendah, tetapi wajahku memang kurang tampan, apalagi dibanding Aldi yang memang paling tampan di kelas.

Kurang lebih tiga jam aku dan teman-teman sampai di stasiun kota tempat tinggal kakeknya Sarah. Dari sini kami menuju kampung kakeknya Sarah dengan menggunakan Angkutan Desa.
Kurang lebih lima belas menit, aku dan teman-teman sampai di kampung kakeknya Sarah. Di sini walaupun sudah siang dan panas seperti ini tetapi hawanya tetap dingin karena kampung ini terletak di bawah kaki gunung.

Di samping kami, ada persawahan yang luas dengan air yang mengalir membuat hati dan pikiran terasa tenang, raga pun terasa ingin memanjakan diri untuk mandi di air sungai yang tidak jauh dari tempat kami berjalan. Setelah melewati pemandangan yang melebihi indah dan lebih menawan kami pun sampai di sebuah desa yang tertulis. “Desa Buaya Sawah.” Aku terkejut dengan nama desanya. Aku berpikir apakah di sini memang ada buaya yang tinggal di sawah atau itu hanya nama saja? Namun aku abaikan saja. Kami pun sampai di rumah kakeknya Sarah.
“Assalammualaikum, Kek.” kata Sarah sambil mengetuk pintu.

“Waalaikummussalam.” jawab kakek Sarah sambil membukakan pintu dan mempersilahkan kami masuk. Kami pun beristirahat di rumah kakeknya Sarah. Sambil makan makanan desa seperti ubi kayu, dan ketela pohon. Rumah kakeknya Sarah sederhana, yang membuat aku sedikit betah di sini adalah suasana dan hawa yang menyejukkan. Seraya aku bertanya pada kakek tentang nama desa yang aneh ini.

“Maaf Kek, kenapa desa ini dinamakan Desa Buaya Sawah?” aku lantas bertanya pada kakek.
“O… begini Nak, dulu di sini adalah satu-satunya desa yang memiliki sawah yang di dalamnya ada seekor buaya yang ukurannya besar. Lalu, warga di sini dipindahkan karena buaya tersebut. Setelah buaya itu berhasil ditangkap kami pun kembali dan memberi nama desa ini dengan nama Desa Subur. Akan tetapi, para sesepuh desa beranggapan, jika nama desa tidak ada unsur buaya atau tidak ada kata buaya, maka buaya tersebut akan kembali ke desa ini. Menurut para sesepuh, buaya-buaya itu adalah jelmaan siluman yang harus dijaga dan dihargai..” jelas kakek pada kami.

Hari pun menunjukkan jam dua siang. Aku pun lupa untuk salat Duhur, lekas aku mengajak teman-temanku untuk salat bersama. Senang sekali mengajak teman-temanku dan juga Fitri untuk salat bersama. Usai salat, kami menikmati pemandangan kampung kakek, aku mengajak Fitri keluar menikmati indahnya hamparan sawah dan desiran air sungai di sekitar kampung ini. Hatiku seraya berkata cantik sekali wajahmu hai Fitri, tetapi aku tidak bisa mengungkapkannya. Temanku Aldi dan Kamal berselfie ria di tengah sawah, sedangkan Sarah sedang membereskan perlengkapan kami di dalam rumah.

Sore pun tiba, adzan Ashar pun berkumandang merdu di antara angin yang sepoi-sepoi, kami pun bersiap untuk salat Ashar. Kami memilih salat Ashar di musala dekat sini. Sepulang dari musala tadi aku mendengarkan ada yang bercakap-cakap tentang buaya yang besar, mereka bilang buaya itu masih ada, dan sekarang masih belum diketahui tempat persembunyiannya. Setelah salat Ashar, kami berlima berbincang-bincang. Aku mempunyai rencana untuk menyelidiki buaya yang masih ada di sini.
“Teman-teman, tadi aku mendengar orang berbicara di depan musala. Mereka bilang buaya itu masih ada, dan masih bersembunyi di suatu tempat di sekitar sini. Bagaimana kalau kita cari buaya itu?” jelasku. “Apa? Cari buaya? Bahaya! Mau cari di mana?” ujar Sarah.

“Iya, itu kan sangat berbahaya!” kata Fitri.
“Tenang saja, kan ada kami bertiga. Iya kan, Aldo, Kemal?” jawabku.
“Ya..” jawab Aldo, Kamal diam saja.
“Mal! Bagaimana?” tanya Aldo sambil menyenggolnya.
“Aku ikut saja..” jawab Kamal.
“Baiklah aku dan Fitri juga ikut, biar nambah pengalaman..” ujar Sarah.
“Oke, kalau begitu kita nanti malam siap-siap. Besok kita berangkat pagi-pagi sekali!” kataku.
Hari pun sudah malam, jam menunjukkan jam sepuluh malam, kami sedang nonton televisi di ruang depan sambil bersiap-siap membereskan barang-barang agar ruang depan bisa untuk tidur kami berlima. Oleh karena tidak ada kamar lain, kami terpaksa tidur di depan televisi. Hari sudah larut malam, jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Aku baru dari kamar mandi, dan ketika ku melihat teman-temanku, mereka sudah tidur, begitu pula dengan Fitri. Wajahnya cantik walaupun sedang tidur, manis sekali seperti gula merah, sungguh menawan, tak bosan aku memandangi dan memuji kecantikannya.

Aku belum tidur, aku mempersiapkan senjata untuk ku bawa besok, mungkin dengan senjata yang ku bawa, aku bisa melindungi Fitri dan teman-temanku. Senjata pun ku masukkan ke dalam ranselku. Dan aku pun bersiap untuk tidur dan berharap, di tidurku, aku bisa memimpikannya. Esok hari pun tiba, aku bangun untuk salat Subuh dengan membangunkan beberapa temanku. Kami salat Subuh di rumah. Setelah waktu menunjukkan pukul lima pagi kami pun bersiap-siap untuk mandi dan mempersiapkan segalanya.

Tepat pukul enam pagi kami selesai bersiap-siap. Aku memberikan belati pada teman-temanku yang ku beli di sekitar kampung ini. Aku membagikannya hanya untuk berjaga-jaga. Kecuali Fitri, dia tak ku beri belati aku takut terjadi apa-apa dengannya, cukup aku saja yang ada di sampingnya. Kami berangkat pukul setengah tujuh pagi. Kami meminta izin pada kakek dan kakek mengizinkannya. Kami mulai perjalanan kami menyusuri sawah yang menuju sungai di bawahnya. Aku dan Fitri di depan sedangkan Aldi berada di belakang. Aku dan teman-temanku menyusuri sawah dan turun ke bawah, jalannya berbatu, dan licin.

Aku turun terlebih dahulu dan tanganku menjangkau tangan Fitri untuk membantunya turun, begitu pula aku lakukan untuk Kamal dan Sarah, sedangkan Aldi? Dia bisa turun sendiri. Kami pun sampai di bawah. Dan betapa terkejutnya kami ketika melihat sungai di bawah sini, terdengar suara burung-burung dan desiran air sungai memecah keheningan suasana. Aku mencari cara agar bisa melewati sungai ini. Aku terkejut, ternyata sungai ini dangkal, lantas aku mencoba menyeberanginya dengan bantuan tongkat dari pohon yang tergeletak di bibir sungai. Ketika aku mau melewatinya ada orang menegurku.

“Heh… kalian mau ke mana? Di sini bahaya! Sana pulang!” kata orang itu dengan berteriak.
“E… kenapa Pak?” Aldi bertanya.
“Hati-hati! di sana mungkin ada buaya..” jawab orang itu sambil menunjuk ke seberang sungai.
“Untuk itu Pak, kami akan menyelidikinya..” ujarku.
“Tapi di sana bahaya!” bapak itu mengingatkan.
“Kami tahu Pak. Kami akan berhati-hati..”aku menjawab.
“Ya sudah, sana kalau kamu berani!” kata bapak itu. Lalu meninggalkan kami.
Kami pun berhasil menyeberangi sungai dan melanjutkan perjalanan kami. Tak terasa jam tanganku menunjukkan pukul sembilan pagi. Kami sampai di sebuah tempat yang bisa disebut hutan kecil. Kami menemukan beberapa hewan di sini seperti rusa, dan landak. Aku menemukan sebuah gua kecil yang terlihat sebuah ekor buaya di bibir gua tersebut. Aldi lekas mengambil pistolnya untuk membunuh buaya tersebut, karena memang tujuan kami memusnahkan buaya di sekitar sini.

“Dor!!!”

Peluru sudah ke luar dari mulut pistol Aldi. Namun, tembakannya meleset dan buaya itu berbalik arah dan siap memakan kami. Kami pun lari terbirit-birit meninggalkan buaya itu. Aku mencoba menghalangi buaya itu dengan menggunakan senapan angin yang ku bawa. “Dor!!!” yah, peluruku mengenai mulutnya yang sedang terbuka. Aku pun langsung ikut kabur sambil menarik tangan Fitri menjauhi buaya yang sudah memakan peluruku itu.
“Ah, tembakanku meleset. Sial..” kata Aldi sambil terengah-engah.
“Tunggu! Tunggu kami!” teriakku sambil berlali melambaikan tangan menuju Aldi dan lain-lain.
“Ngeri sekali… hahaha..” kataku sambil tertawa mengejek Aldi.
“Loh, kenapa ketawa?” Aldi bertanya kebingungan.
“Untung aku bisa menembaknya, kalau tidak..” kataku.
“Kau? Kau bisa menembak? Hebat..” sahut Aldi memujiku.
Aku dan teman-teman melanjutkan perjalanan dan kami beristirahat sejenak. Aku dan Aldi merencanakan sesuatu, yang aku dan Aldi rencanakan adalah jika kita bertemu buaya raksasa itu kita bagi dua kelompok. Aku bersama Fitri dan Aldi bersama yang lainnya. Selagi teman-temanku beristirahat, aku mencari bilah kayu yang bisa aku gunakan sebagai senjata untuk memusnahkan buaya raksasa yang akan aku temui nanti. Aku menemukan beberapa bilah ranting dari pohon yang sudah berserakan, karena hutan ini memang sangat sunyi dan tidak terawat, aku lantas memangkasnya hingga ujungnya runcing menggunakan belati yang ku bawa. Setelah itu, aku kembali ke teman-temanku.

Setalah kurang lebih setengah jam kami beristirahat, kami pun melanjutkan perjalanan kami membelah hutan yang sunyi ini. Aku berjalan di depan, sedangkan Fitri di belakang bersama ketiga teman-temanku lainnya. Betapa terkejutnya aku mendengar Fitri berteriak, lekas aku menoleh ke belakang dan melihat seekor buaya raksasa dengan mulut menganga siap memakan kami. Aku pun dengan cepat menarik tangan Fitri untuk menjauh dan menyuruh teman-temanku lainnya untuk lari, tapi kami dikejar buaya itu. Cepat sekali, buaya itu mengejar kami. Aku memutuskan untuk berpencar dengan Aldi, Kamal, dan Sarah. Aku bersama Fitri ke kanan dan mereka ke kiri. Buaya itu tetap mengejar, tetapi hanya aku dan Fitri yang dikejar. Aku dengannya lari terbirit-birit. Aku membawa Fitri di sebuah gua.
“Aduh, gimana nih?” kata Fitri ketakutan.

“Tenang! Aku akan melindungimu, karena kau adalah orang yang aku cintai..” kataku dan keceplosan bilang cinta padanya. “Ah, apa? Apa kamu bilang?” jawab Fitri sambil ketakutan.
“E… sudahlah nanti saja!” kataku sambil gerogi.
Moncong buaya itu sudah terlihat dari mulut gua, aku ingin menembaknya tetapi ada Fitri, aku tak ingin membuatnya takut. Aku mempersiapkan senapanku yang sudah ku isi peluru yang hanya tersisa empat, karena sudah ku gunakan tadi. Aku mencoba menenangkan Fitri.
“Fit, tenang! Aku akan menembak buaya itu..” kataku sambil memeluknya.
“Hati-Hati Ki!” kata Fitri sambil melepas pelukannya.

Aku membawa Fitri ke belakang gua. Lalu, aku bersiap melepaskan peluruku, aku mengincar lubang moncongnya. “Dor!!!” ya sudah ku bilang, aku pasti berhasil. Dengan cepat-cepat aku menarik Fitri ke luar dari gua, buaya itu sedang menunduk lemas, namun belum mati. Aku dan Fitri lari, namun buaya itu masih mengejar kami, karena jaraknya cukup bagus, dan mulut buaya itu menganga sepuluh meter di belakang kami, aku pun berbalik dan melepaskan ketiga peluru sekaligus ke arah mulut buaya itu. “Dor, dor, dor!!!” Buaya itu akhirnya lemas tak berdaya, ketika ketiga peluruku termakan olehnya.
Aku dan Fitri kabur dengan cepat. Disela kami berlari, Fitri mengungkapkan bahwa ternyata dia sangat mencintaiku. Mendengar kalimatnya itu, aku pun sangat senang, dan aku langsung memeluknya. Aku berjanji aku akan selalu ada untuknya, tak akan ku biarkan orang lain melukainya walaupun sedikit. Kami pun ke luar dari hutan dan ternyata teman-temanku lainnya sudah di sana bersama kakek dan para warga lainnya. Mereka senang, karena buaya yang sebenarnya sudah musnah. Aku bangga sekali, bisa menolong orang di desa ini, karena menurutku menolong orang adalah suatu kebanggaan.
Akhirnya, aku dan teman-temanku pulang pada malam hari setelah sholat isya. Kami menuju stasiun untuk pulang ke rumah. Kini aku tidak ragu lagi, duduk di sebelah Fitri. Dan teman-temanku juga merasa terkejut, ketika mereka tahu bahwa aku dan Fitri saling mencintai. Di kereta api perjalanan pulang Fitri tertidur di pangkuanku, membuat hatiku gembira, aku merasa bahwa cinta itu harus bisa diungkapkan, harus bisa diperjuangkan, dan harus bisa dipertahankan. Aku tak akan biarkan gadis yang baik dan cantik ini lepas dariku begitu saja, sambil ku cium keningnya yang sedang tertidur. Pengalaman ini tak akan aku lupakan dan tak berhenti sampai di sini.



Cerpen Karangan: Muhammad Arsyad
Blog: arsyadmoeslimsejati.blogspot.com
Nama: Muhammad Arsyad
Lahir: Pekalongan, 9 Mei 1998

Tell Me, I Love You

Angin berbisik merdu mengantarkan gadis itu ke luar dari persembunyiannya. Kim Tae Yeon, gadis itu tak bergeming tatkala melihat sosok lelaki yang sudah berdiri di hadapannya, seperti biasanya. “Annyeong has…” Belum utuh Sehun menyapa, Taeyeon berlalu meninggalkannya untuk sebuah bus yang akan mengantarnya ke sekolah. Sehun yang sudah biasa seperti ini pun hanya tersenyum kemudian mengikuti Taeyeon menaiki bus. Lama Taeyeon merasa risih karena di belakangnya berdiri seorang Oh Sehun, karena ia tak pernah mendapat tempat duduk, karena Sehun selalu berdiri di belakangnya setiap pagi.
“Apa nanti… Sepulang sekolah kau ada waktu?”
“Jangan tanyakan hal lain selain pelajaran, oke?”
Taeyeon meninggalkannya turun dari bus. Lagi-lagi Sehun hanya tersenyum. Ia berjalan, mengikuti dan selalu mengajak Taeyeon bicara, tanpa pernah mendapat respon. Tapi itu cukup membuat Sehun merasa senang. Namun sekali mendapat respon. “Oke, mari kita perjelas di sini. Kau muridku dan aku gurumu. Jangan menyimpan perasaan seperti itu padaku. Cukup hormati aku sebagai guru, dan jangan pernah mengikutiku lagi.”

Hari ini tidak seperti biasanya, tapi sudah biasa hari-hari seperti ini. Taeyeon tak pernah mendapati Sehun di terminal, di belakangnya di dalam bus, bahkan tak di kelas sekali pun. Bangku itu selalu kosong. Hanya udara dingin musim gugur yang duduk di atasnya. Sederhana saja, Sehun bukan lagi penguntitnya. Bahkan ia tak lagi mengirim chat setiap detik yang bagi Taeyeon sangat tidak berguna. Taeyeon lega, tapi ada sesuatu yang berbeda di hatinya. Kehadiran sosok lelaki yang dianggapnya ‘anak kecil’ itu tak mengusik hidupnya. Ada rasa kosong dan sesuatu yang hilang yang dirasakannya. Taeyeon tak mengerti perasaan seperti apa ini. Tanpa sadar Taeyeon mengambil ponsel dan mengeklik nama Sehun Oh dalam chat-nya.
“Kau di mana? Aku merindukanmu.” Tulisan itu dihapus Taeyeon karena tidak mungkin ia mengirim pesan seperti itu. Apa Taeyeon sudah gila? Lalu Taeyeon mengetik lagi, sesuatu yang dirasa Taeyeon pantas.
“Kalau kau tak pernah masuk, kau melakukan sikap tidak disiplin.” Tak ada balasan. “Dan kau akan dikeluarkan dari sekolah.” Tetap tidak ada balasan. Sudah seminggu tiga hari Sehun tak pernah menyapa, atau sekedar memberi kabar. Taeyeon mulai gelisah, di manakah ‘muridku’ itu?

Langkah kaki Taeyeon menuju pada sebuah kafe. Kafe yang dulu dirinya dan Sehun menghabiskan waktu bersama karena Sehun beralasan bosan terus belajar di ruangan. Ya, Taeyeon pernah menjadi guru les privat Sehun, yang tiap jam enam sampai sembilan malam berara di kamar Sehun, mengajarinya belajar. Tapi semua berubah ketika Sehun merasakan hal yang berbeda padanya, menginginkan hubungan lebih dari sekedar ‘murid dan guru’. Sehun menyatakan cinta. Di tempat ini, persis di meja depannya berdiri. Taeyeon memikirkan sesuatu. Pendengarannya seperti deja vu dengan detakan sepatu yang sepertinya tak asing.
“Kau mencariku?”
Taeyeon mendongak. Matanya seakan tak percaya mendapati sesosok namja berpostur tinggi dan berkulit putih di hadapannya, dengan senyum tulus yang sudah lama tak dilihatnya.


Cerpen Karangan: Isnatul
Facebook: Binti Al Isnatul Ummah

Embun Pagi

Embun, ciptaan Tuhan yang sangat aku sukai. Mataku hanya bisa melihat sehari sekali di pagi hari. Aku hanya bisa memandangnya dari jendela kaca kamarku. Dia begitu sejuk, begitu segar, begitu damai. Setiap kali aku melihat embun, jiwaku merasa tentram, nyaman, dan bahagia. Dia begitu mempunyai sebuah nilai estetika tersendiri. Maha karya Tuhan yang menciptakannya sebagai suatu zat yang membawa kebahagiaan bagi setiap orang.

Begitu juga dengan seseorang yang sudah lama kusukai. Sadarkah dia bahwa dirinya bagai embun pagi? Aku selalu merasa tentram, nyaman, dan bahagia jika melihatnya. Diriku sendiri bingung kenapa aku bisa menyukai sebegitu dalam seperti sekarang ini? Tampan? Ya, dia memang begitu tampan, tetapi itu bukanlah suatu alasan utama aku menyukainya. Mungkin karena pribadinya begitu low profile, baik, intelligent, dan berkharisma. Sebut saja namanya Evan. Orang yang begitu aku kagumi dan aku puja. Oh iya, sebelumnya aku belum perkenalkan diri. Aku Zafira. Aku sangat gemar menggambar, menulis, dan bermain musik.
“Hei Zafira, ngapain berdiri disitu, ayo masuk..” teriak Evan memecahkan lamunanku. Aku menghampirinya dan memberikan senyum manis kepadanya.
“Gimana kabar kamu, Van?”
“Seperti yang kamu lihat Ra, aku hanya bisa berpangku tangan dengan obat-obatan ini. Obat hanya memperparah keadaanku. Lihat saja, tidak ada perubahan”, keluhnya.
“Obat bukan memperparah, Van.. Obat cuma meringankan saja. Kamu harus optimis ya, Van”
“Hei Ra, aku itu selalu optimis. Aku gak cengeng kayak kamu. Aku tau kok, mata kamu berkaca-kaca liat aku terbaring disini. Halah sudah deh, ga usah bohong. Aku tau kok. Lagian aku udah terima apa yang di kasih Tuhan ke aku. Kamu jangan khawatir ya, aku baik-baik aja kok”. Benar kata Evan, aku memang selalu ingin menangis melihatnya terbaring lemah seperti ini. Wanita sekuat apapun pasti sedih melihat keadaanya, termasuk aku.

Sudah 1 minggu aku tidak melihat senyum Evan di sekolah. Sangat sepi! Orang yang kucintai harus berjuang melawan kanker otak yang menggerogotinya. Apa? Cinta? Entahlah, aku sangat merasa sedih melihatnya seperti ini. Rasanya aku ingin sekali menggantikan posisi Evan. Setiap hari aku selalu bermunajat kepada Sang Pemilik.
Seperti biasanya, aku selalu menyempatkan diriku untuk pergi menjenguknya.
“Hai, Van. Apa kabar?”
“Baik-baik aja, Ra. Gimana keadaan kelas kita?”. Aku tau Evan berbohong. Aku tau dia sangat merasakan sakit.
“Ya seperti biasalah, Van. Akur… Tapi ada sesuatu yang janggal”
“Loh, apanya yang janggal, Ra?”
“Aku tidak menemukan senyuman kamu, Van.”
“Hahaha, ada-ada aja kamu Fira.. Eh aku punya berita bagus loh. Aku udah diizinin pulang sama dokter. Aku senang banget. Aku pengen kamu temenin aku jalan-jalan ke taman. Tempat pertama kita ketemu. Udah lama nggak kesana.”
“Aku turut senang mendengarnya. Oke bos, aku bakalan temenin kamu. Besok aku datang ke rumah kamu ya? Kita pergi bareng.”

Seperti janjiku kepada Evan, aku menjemputnya dan mengajaknya.
“Pagi Evan.” Sapaku
“Pagi juga Zafira. Yuk langsung aja kita ke taman” dia menarik tanganku.

Taman ini adalah tempat yang sering kami kunjungi. Segalanya kami lontarkan disini. Taman ini terletak tepat di belakang gedung sekolah kami. Entah apa yang membuat orang-orang jarang mengunjungi taman seindah ini. Di taman ini, begitu penuh dengan bunga-bunga yang indah dan berwarna. Begitu tentram, sejuk dan damai rasanya jika aku berada disini. Sejak Evan di rawat di rumah sakit, aku tak pernah mengunjungi taman ini walaupun jaraknya dekat dengan sekolah. Ada sepetak tanah yang begitu tandus dan kering di taman ini, kami berdualah yang menanaminya dan menatanya dengan begitu indah. Ya… Kami memang selalu kesini untuk merawatnya dan menghabiskan waktu disini.
“Hei Ra… kenapa bunga-bunga ini tampak layu? Apa kamu tidak merawatnya?”
“Maaf Van, mereka layu karena tidak ada embun disini”
“Embun? Maksud kamu?”
“Iya, embun itu kamu, Van. Mereka layu karena tidak ada kamu.” ujarku tersenyum.
Dia hanya terdiam saat aku berbicara seperti itu.
“Mereka merasa tak lengkap jika hanya dengan embun biasa dan aku. Mereka juga merasa kehilangan, Van”, kataku.
Tak sadar, sudah seharian juga kami di taman ini. Evan terlelap dipangkuanku. Menitik air mataku melihat perubahan fisiknya yang begitu drastis. Wajahnya yang tampan kini terlihat pucat, tubuhnya semakin kurus dan rambutnya semakin menipis dan tak berkilap, membuatku ingin sekali menggantikan posisinya. Aku bangga padanya, dia masih bisa tersenyum ditengah penderitaannya yang begitu pahit ini. Padahal sebenarnya aku tau ada kesedihan di balik senyuman itu.
“Fira…” ujarnya pelan.
“Eh, Van, kamu udah bangun? Kita pulang ya, udah mau malam nih”
“Jangan Ra, temenin aku disini. Aku mau merasakan embun membasahi tubuhku.”
“Tapi udara malam gak bagus buat kesehatan kamu, Van”
“Plis, sekali ini aja, temenin aku. Apa lebih baik aku sendiri saja?”
“Eh, jangan Van. Iya deh, aku temenin kamu.”
“Gitu dong baru namanya sahabat aku.”
“Evan…”
“Hmmm?”
“Kamu suka dengan embun?”
“Suka banget Ra, mereka sangat bening dan suci. Aku ingin seperti mereka. Kalo kamu?”
“Aku juga mencintai embun”
“Aku pengen banget seperti mereka Ra.. Mereka selalu memberikan suasana berbeda setiap pagi dan selalu di tunggu kehadirannya oleh bunga-bunga ini.” ujar Evan.
“Kamu sudah menjadi seperti mereka kok”
“maksud kamu?” tanya Evan bingung.
“Ehmm, engga. Gapapa.”
Aku merahasiakan perasaanku kepada Evan. Karena aku tau dia pasti tidak akan mengatakan kata “ya” jika aku mengungkapkan perasaanku. Aku tau dia tidak mau berpacaran dulu. Entah apa alasannya.
Jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Evan terlelap lelah disampingku.
“Van, Evan.. Evan.. Bangun… Katanya mau ngeliat embun? Sudah jam 5 nih Van”, pujukku. Tetapi aku tak mendengar sahutan darinya.
“Ayolah Van, jangan tidur terlalu lama…” Aku mulai resah, apa yang terjadi dengannya? Kurasakan tubuhnya dingin, tapi aku melepas pikiran negatifku. Mungkin saja dingin ini berasal dari embun.
“Evan sayang, ayo bangun dong. Jangan buat aku khawatir…”, dia tak juga menyahut. Tubuhnya pucat, dingin dan kaku. Aku berusaha membawanya ke rumah sakit dengan pertolongan orang-orang.
Setibanya dirumah sakit…
“Mbak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Sang Pencipta berkehendak lain. Dia sudah menghadap sang pencipta”, ujar dokter yang menangani Evan. Aku lemah, jatuh dan tidak bisa berkata apa-apa. Mengapa seindah ini rencana Evan untuk pergi menghadap Tuhan? Dia membuat skenario yang indah dengan mengajakku ke taman tempat pertama kami bertemu dan berpisah. Aku tak sanggup..
Beberapa bulan selepas kepergian Evan, ibunda Evan memberikan surat beramplop merah muda dengan sebuah gambar embun didalamnya. Aku membaca surat itu..
Untuk Zafira tersayang… Embun, titik air bening dari langit, membasahi kelopak bunga yang mekar. Aku ingin seperti embun, disukai banyak orang, disukai bunga-bunga. Siapakah bunga itu?
Zafira, terimakasih kamu sudah menjadi cinta terakhir di akhir hidupku. Dan kamu akan tetap menjadi kenangan bagiku. Ra, aku sengaja tak mengungkapkannya. Sahabat itu lebih berharga dari kekasih.
Oh iya, Ra.. Tetap rawat taman kita y… Aku tak mau mereka layu lagi. Disana tempat pertemuan kita pertama kali dan terakhir kalinya. Tetap jadikan aku embun dihatimu ya.. Aku menyayangimu sayang.. Sampai jumpa. Salam sayang, Evan…
Evan, kamu tau, sejak pertama ketemu kamu sudah menjadi embun dihatiku. Aku ingin menyanyikan lagu Embun kepada kamu.
Dirimu meninggalkanku, saat ku benar-benar mencintaimu. Jejakmu yang semakin menjauh, saat hatiku luluh karenamu. Seharusnya kau ada disini, saatku menangis. Semestinya kau memelukku, saat aku ringkih. Sadarkah engkau bagaikan embun pagi? Yang sejukkan mataku, engkau adalah resah gelisahku. Akankah engkau kan datang menjamah belai rambutku, engkau adalah bayangan diriku… Selamat jalan…
Cerpen Karangan: Nona Nada Damanik
Blog: littlethingaboutnona.blogspot.com
Nama Lengkap : Nona Nada Damanik
T.T.L : Pematangsiantar, 19 September 1997.
Facebook : Nona Nada Damanik

Mau Belanja Di WhatsApp Saja Mudah

WhatsApp.com