Friday 18 March 2016

Cinta dan Budaya



Ujian Nasional telah selesai. Perasaanku bercampur aduk antara senang dan gelisah, namun biarkanlah pengumuman dua bulan lagi, masih ada waktu untuk bersenang-senang. Teman-temanku, Aldi, Sarah, Fitri, dan Kamal mengajakku untuk liburan.

“Hai teman-teman, gimana nih? UN udah selesai loh..” kata Aldi saat kami berlima berkumpul di kantin.
“Gimana kalau kita liburan ke daerah asal Ayahku?” sahut Sarah.
“Apa bagusnya di sana?” kataku.
“Tenang aja, aku jamin kali ini bakalan seru dan menguji nyali kita nih..” sanggah Sarah.
“Ngomong-ngomong di mana tempatnya?” tanya Kamal.
“Udah, ikut aja!” senggak Sarah.
“Oke, kalau begitu kapan kita akan ke sana?” tanya Aldi.
“Dua hari lagi. Gimana?” ujar Sarah.
“Oke.”jawab kami berempat.
Dua hari sudah terlewat sejak perbincangan itu. Dan sampailah di hari tersebut, tepat pukul delapan pagi kami berkumpul di rumah Sarah. Dan saat itu temanku dan juga orang yang aku cintai sudah ada di sana.
Mulai beriklan




“Hai teman-teman.” sambutku.
“Hai.” jawab semua temanku.
“Ki, kamu udah bawa perlengkapan?” tanya Aldi padaku.
“Udahlah..” jawabku.
Akhirnya Sarah meminta izin kepada orangtuanya untuk pergi ke tempat asal ayahnya.
“Yah. Aku, Fitri, Aldi, Kamal, dan Riski ingin main ke rumah Nenek dan kakek untuk beberapa hari..” pinta Sarah.

“Iya. Ayah kirim salam buat Bapak dan Ibu di sana, dan kamu hati-hati ya!” jawab ayah.
“Ok yah.. Dah..” jawab Sarah sambil mencium tangan ayah dan ibunya dan berpamitan.
Kami berlima pun berangkat naik bus menuju stasiun, karena memang kami merencanakannya dengan naik kereta agar lebih seru dan mengesankan. Aku senang sekali, berlibur dengan teman-temanku terutama Fitri dia adalah cewek yang aku sukai sejak kelas satu SMA. Menurutku, Fitri adalah cewek yang cantik, baik, ramah, dan juga pendiam. Namun, aku tidak pernah tahu isi hatiku sama tidak seperti isi hatinya, apakah dia juga menyukaiku? aku masih tidak tahu, mungkin ia tidak suka. Aku adalah orang yang jika suka seseorang tidak langsung mengungkapkannya. Aku berharap liburan ini aku bisa tahu bahwa aku dan Fitri saling mencintai.

Pukul sembilan tepat. Aku dan teman-temanku sampai di stasiun. Dan kereta pun sudah datang, kami naik kereta dengan nomor kursi yang berdekatan. Aku sangat gemeteran duduk di samping Fitri, karena memang aku yang bertugas memesan tiket keretanya dan aku pula yang membaginya, aku sudah sengaja ingin membagi tiket Fitri agar tepat duduk di sampingku, dan ternyata benar-benar tepat perkiraanku. Walupun begitu aku tetap tenang hanya sedikit berbincang dengan Fitri soal kuliah dan UN. Hatiku senang sekali melihat wajahnya dan senyumannya yang menawan. Namun, aku sadar wajahku tidaklah tampan, bukannya mau merendah, tetapi wajahku memang kurang tampan, apalagi dibanding Aldi yang memang paling tampan di kelas.

Kurang lebih tiga jam aku dan teman-teman sampai di stasiun kota tempat tinggal kakeknya Sarah. Dari sini kami menuju kampung kakeknya Sarah dengan menggunakan Angkutan Desa.
Kurang lebih lima belas menit, aku dan teman-teman sampai di kampung kakeknya Sarah. Di sini walaupun sudah siang dan panas seperti ini tetapi hawanya tetap dingin karena kampung ini terletak di bawah kaki gunung.

Di samping kami, ada persawahan yang luas dengan air yang mengalir membuat hati dan pikiran terasa tenang, raga pun terasa ingin memanjakan diri untuk mandi di air sungai yang tidak jauh dari tempat kami berjalan. Setelah melewati pemandangan yang melebihi indah dan lebih menawan kami pun sampai di sebuah desa yang tertulis. “Desa Buaya Sawah.” Aku terkejut dengan nama desanya. Aku berpikir apakah di sini memang ada buaya yang tinggal di sawah atau itu hanya nama saja? Namun aku abaikan saja. Kami pun sampai di rumah kakeknya Sarah.
“Assalammualaikum, Kek.” kata Sarah sambil mengetuk pintu.

“Waalaikummussalam.” jawab kakek Sarah sambil membukakan pintu dan mempersilahkan kami masuk. Kami pun beristirahat di rumah kakeknya Sarah. Sambil makan makanan desa seperti ubi kayu, dan ketela pohon. Rumah kakeknya Sarah sederhana, yang membuat aku sedikit betah di sini adalah suasana dan hawa yang menyejukkan. Seraya aku bertanya pada kakek tentang nama desa yang aneh ini.

“Maaf Kek, kenapa desa ini dinamakan Desa Buaya Sawah?” aku lantas bertanya pada kakek.
“O… begini Nak, dulu di sini adalah satu-satunya desa yang memiliki sawah yang di dalamnya ada seekor buaya yang ukurannya besar. Lalu, warga di sini dipindahkan karena buaya tersebut. Setelah buaya itu berhasil ditangkap kami pun kembali dan memberi nama desa ini dengan nama Desa Subur. Akan tetapi, para sesepuh desa beranggapan, jika nama desa tidak ada unsur buaya atau tidak ada kata buaya, maka buaya tersebut akan kembali ke desa ini. Menurut para sesepuh, buaya-buaya itu adalah jelmaan siluman yang harus dijaga dan dihargai..” jelas kakek pada kami.

Hari pun menunjukkan jam dua siang. Aku pun lupa untuk salat Duhur, lekas aku mengajak teman-temanku untuk salat bersama. Senang sekali mengajak teman-temanku dan juga Fitri untuk salat bersama. Usai salat, kami menikmati pemandangan kampung kakek, aku mengajak Fitri keluar menikmati indahnya hamparan sawah dan desiran air sungai di sekitar kampung ini. Hatiku seraya berkata cantik sekali wajahmu hai Fitri, tetapi aku tidak bisa mengungkapkannya. Temanku Aldi dan Kamal berselfie ria di tengah sawah, sedangkan Sarah sedang membereskan perlengkapan kami di dalam rumah.

Sore pun tiba, adzan Ashar pun berkumandang merdu di antara angin yang sepoi-sepoi, kami pun bersiap untuk salat Ashar. Kami memilih salat Ashar di musala dekat sini. Sepulang dari musala tadi aku mendengarkan ada yang bercakap-cakap tentang buaya yang besar, mereka bilang buaya itu masih ada, dan sekarang masih belum diketahui tempat persembunyiannya. Setelah salat Ashar, kami berlima berbincang-bincang. Aku mempunyai rencana untuk menyelidiki buaya yang masih ada di sini.
“Teman-teman, tadi aku mendengar orang berbicara di depan musala. Mereka bilang buaya itu masih ada, dan masih bersembunyi di suatu tempat di sekitar sini. Bagaimana kalau kita cari buaya itu?” jelasku. “Apa? Cari buaya? Bahaya! Mau cari di mana?” ujar Sarah.

“Iya, itu kan sangat berbahaya!” kata Fitri.
“Tenang saja, kan ada kami bertiga. Iya kan, Aldo, Kemal?” jawabku.
“Ya..” jawab Aldo, Kamal diam saja.
“Mal! Bagaimana?” tanya Aldo sambil menyenggolnya.
“Aku ikut saja..” jawab Kamal.
“Baiklah aku dan Fitri juga ikut, biar nambah pengalaman..” ujar Sarah.
“Oke, kalau begitu kita nanti malam siap-siap. Besok kita berangkat pagi-pagi sekali!” kataku.
Hari pun sudah malam, jam menunjukkan jam sepuluh malam, kami sedang nonton televisi di ruang depan sambil bersiap-siap membereskan barang-barang agar ruang depan bisa untuk tidur kami berlima. Oleh karena tidak ada kamar lain, kami terpaksa tidur di depan televisi. Hari sudah larut malam, jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Aku baru dari kamar mandi, dan ketika ku melihat teman-temanku, mereka sudah tidur, begitu pula dengan Fitri. Wajahnya cantik walaupun sedang tidur, manis sekali seperti gula merah, sungguh menawan, tak bosan aku memandangi dan memuji kecantikannya.

Aku belum tidur, aku mempersiapkan senjata untuk ku bawa besok, mungkin dengan senjata yang ku bawa, aku bisa melindungi Fitri dan teman-temanku. Senjata pun ku masukkan ke dalam ranselku. Dan aku pun bersiap untuk tidur dan berharap, di tidurku, aku bisa memimpikannya. Esok hari pun tiba, aku bangun untuk salat Subuh dengan membangunkan beberapa temanku. Kami salat Subuh di rumah. Setelah waktu menunjukkan pukul lima pagi kami pun bersiap-siap untuk mandi dan mempersiapkan segalanya.

Tepat pukul enam pagi kami selesai bersiap-siap. Aku memberikan belati pada teman-temanku yang ku beli di sekitar kampung ini. Aku membagikannya hanya untuk berjaga-jaga. Kecuali Fitri, dia tak ku beri belati aku takut terjadi apa-apa dengannya, cukup aku saja yang ada di sampingnya. Kami berangkat pukul setengah tujuh pagi. Kami meminta izin pada kakek dan kakek mengizinkannya. Kami mulai perjalanan kami menyusuri sawah yang menuju sungai di bawahnya. Aku dan Fitri di depan sedangkan Aldi berada di belakang. Aku dan teman-temanku menyusuri sawah dan turun ke bawah, jalannya berbatu, dan licin.

Aku turun terlebih dahulu dan tanganku menjangkau tangan Fitri untuk membantunya turun, begitu pula aku lakukan untuk Kamal dan Sarah, sedangkan Aldi? Dia bisa turun sendiri. Kami pun sampai di bawah. Dan betapa terkejutnya kami ketika melihat sungai di bawah sini, terdengar suara burung-burung dan desiran air sungai memecah keheningan suasana. Aku mencari cara agar bisa melewati sungai ini. Aku terkejut, ternyata sungai ini dangkal, lantas aku mencoba menyeberanginya dengan bantuan tongkat dari pohon yang tergeletak di bibir sungai. Ketika aku mau melewatinya ada orang menegurku.

“Heh… kalian mau ke mana? Di sini bahaya! Sana pulang!” kata orang itu dengan berteriak.
“E… kenapa Pak?” Aldi bertanya.
“Hati-hati! di sana mungkin ada buaya..” jawab orang itu sambil menunjuk ke seberang sungai.
“Untuk itu Pak, kami akan menyelidikinya..” ujarku.
“Tapi di sana bahaya!” bapak itu mengingatkan.
“Kami tahu Pak. Kami akan berhati-hati..”aku menjawab.
“Ya sudah, sana kalau kamu berani!” kata bapak itu. Lalu meninggalkan kami.
Kami pun berhasil menyeberangi sungai dan melanjutkan perjalanan kami. Tak terasa jam tanganku menunjukkan pukul sembilan pagi. Kami sampai di sebuah tempat yang bisa disebut hutan kecil. Kami menemukan beberapa hewan di sini seperti rusa, dan landak. Aku menemukan sebuah gua kecil yang terlihat sebuah ekor buaya di bibir gua tersebut. Aldi lekas mengambil pistolnya untuk membunuh buaya tersebut, karena memang tujuan kami memusnahkan buaya di sekitar sini.

“Dor!!!”

Peluru sudah ke luar dari mulut pistol Aldi. Namun, tembakannya meleset dan buaya itu berbalik arah dan siap memakan kami. Kami pun lari terbirit-birit meninggalkan buaya itu. Aku mencoba menghalangi buaya itu dengan menggunakan senapan angin yang ku bawa. “Dor!!!” yah, peluruku mengenai mulutnya yang sedang terbuka. Aku pun langsung ikut kabur sambil menarik tangan Fitri menjauhi buaya yang sudah memakan peluruku itu.
“Ah, tembakanku meleset. Sial..” kata Aldi sambil terengah-engah.
“Tunggu! Tunggu kami!” teriakku sambil berlali melambaikan tangan menuju Aldi dan lain-lain.
“Ngeri sekali… hahaha..” kataku sambil tertawa mengejek Aldi.
“Loh, kenapa ketawa?” Aldi bertanya kebingungan.
“Untung aku bisa menembaknya, kalau tidak..” kataku.
“Kau? Kau bisa menembak? Hebat..” sahut Aldi memujiku.
Aku dan teman-teman melanjutkan perjalanan dan kami beristirahat sejenak. Aku dan Aldi merencanakan sesuatu, yang aku dan Aldi rencanakan adalah jika kita bertemu buaya raksasa itu kita bagi dua kelompok. Aku bersama Fitri dan Aldi bersama yang lainnya. Selagi teman-temanku beristirahat, aku mencari bilah kayu yang bisa aku gunakan sebagai senjata untuk memusnahkan buaya raksasa yang akan aku temui nanti. Aku menemukan beberapa bilah ranting dari pohon yang sudah berserakan, karena hutan ini memang sangat sunyi dan tidak terawat, aku lantas memangkasnya hingga ujungnya runcing menggunakan belati yang ku bawa. Setelah itu, aku kembali ke teman-temanku.

Setalah kurang lebih setengah jam kami beristirahat, kami pun melanjutkan perjalanan kami membelah hutan yang sunyi ini. Aku berjalan di depan, sedangkan Fitri di belakang bersama ketiga teman-temanku lainnya. Betapa terkejutnya aku mendengar Fitri berteriak, lekas aku menoleh ke belakang dan melihat seekor buaya raksasa dengan mulut menganga siap memakan kami. Aku pun dengan cepat menarik tangan Fitri untuk menjauh dan menyuruh teman-temanku lainnya untuk lari, tapi kami dikejar buaya itu. Cepat sekali, buaya itu mengejar kami. Aku memutuskan untuk berpencar dengan Aldi, Kamal, dan Sarah. Aku bersama Fitri ke kanan dan mereka ke kiri. Buaya itu tetap mengejar, tetapi hanya aku dan Fitri yang dikejar. Aku dengannya lari terbirit-birit. Aku membawa Fitri di sebuah gua.
“Aduh, gimana nih?” kata Fitri ketakutan.

“Tenang! Aku akan melindungimu, karena kau adalah orang yang aku cintai..” kataku dan keceplosan bilang cinta padanya. “Ah, apa? Apa kamu bilang?” jawab Fitri sambil ketakutan.
“E… sudahlah nanti saja!” kataku sambil gerogi.
Moncong buaya itu sudah terlihat dari mulut gua, aku ingin menembaknya tetapi ada Fitri, aku tak ingin membuatnya takut. Aku mempersiapkan senapanku yang sudah ku isi peluru yang hanya tersisa empat, karena sudah ku gunakan tadi. Aku mencoba menenangkan Fitri.
“Fit, tenang! Aku akan menembak buaya itu..” kataku sambil memeluknya.
“Hati-Hati Ki!” kata Fitri sambil melepas pelukannya.

Aku membawa Fitri ke belakang gua. Lalu, aku bersiap melepaskan peluruku, aku mengincar lubang moncongnya. “Dor!!!” ya sudah ku bilang, aku pasti berhasil. Dengan cepat-cepat aku menarik Fitri ke luar dari gua, buaya itu sedang menunduk lemas, namun belum mati. Aku dan Fitri lari, namun buaya itu masih mengejar kami, karena jaraknya cukup bagus, dan mulut buaya itu menganga sepuluh meter di belakang kami, aku pun berbalik dan melepaskan ketiga peluru sekaligus ke arah mulut buaya itu. “Dor, dor, dor!!!” Buaya itu akhirnya lemas tak berdaya, ketika ketiga peluruku termakan olehnya.
Aku dan Fitri kabur dengan cepat. Disela kami berlari, Fitri mengungkapkan bahwa ternyata dia sangat mencintaiku. Mendengar kalimatnya itu, aku pun sangat senang, dan aku langsung memeluknya. Aku berjanji aku akan selalu ada untuknya, tak akan ku biarkan orang lain melukainya walaupun sedikit. Kami pun ke luar dari hutan dan ternyata teman-temanku lainnya sudah di sana bersama kakek dan para warga lainnya. Mereka senang, karena buaya yang sebenarnya sudah musnah. Aku bangga sekali, bisa menolong orang di desa ini, karena menurutku menolong orang adalah suatu kebanggaan.
Akhirnya, aku dan teman-temanku pulang pada malam hari setelah sholat isya. Kami menuju stasiun untuk pulang ke rumah. Kini aku tidak ragu lagi, duduk di sebelah Fitri. Dan teman-temanku juga merasa terkejut, ketika mereka tahu bahwa aku dan Fitri saling mencintai. Di kereta api perjalanan pulang Fitri tertidur di pangkuanku, membuat hatiku gembira, aku merasa bahwa cinta itu harus bisa diungkapkan, harus bisa diperjuangkan, dan harus bisa dipertahankan. Aku tak akan biarkan gadis yang baik dan cantik ini lepas dariku begitu saja, sambil ku cium keningnya yang sedang tertidur. Pengalaman ini tak akan aku lupakan dan tak berhenti sampai di sini.



Cerpen Karangan: Muhammad Arsyad
Blog: arsyadmoeslimsejati.blogspot.com
Nama: Muhammad Arsyad
Lahir: Pekalongan, 9 Mei 1998

No comments:

Mau Belanja Di WhatsApp Saja Mudah

WhatsApp.com