Friday 18 March 2016

Embun Pagi

Embun, ciptaan Tuhan yang sangat aku sukai. Mataku hanya bisa melihat sehari sekali di pagi hari. Aku hanya bisa memandangnya dari jendela kaca kamarku. Dia begitu sejuk, begitu segar, begitu damai. Setiap kali aku melihat embun, jiwaku merasa tentram, nyaman, dan bahagia. Dia begitu mempunyai sebuah nilai estetika tersendiri. Maha karya Tuhan yang menciptakannya sebagai suatu zat yang membawa kebahagiaan bagi setiap orang.

Begitu juga dengan seseorang yang sudah lama kusukai. Sadarkah dia bahwa dirinya bagai embun pagi? Aku selalu merasa tentram, nyaman, dan bahagia jika melihatnya. Diriku sendiri bingung kenapa aku bisa menyukai sebegitu dalam seperti sekarang ini? Tampan? Ya, dia memang begitu tampan, tetapi itu bukanlah suatu alasan utama aku menyukainya. Mungkin karena pribadinya begitu low profile, baik, intelligent, dan berkharisma. Sebut saja namanya Evan. Orang yang begitu aku kagumi dan aku puja. Oh iya, sebelumnya aku belum perkenalkan diri. Aku Zafira. Aku sangat gemar menggambar, menulis, dan bermain musik.
“Hei Zafira, ngapain berdiri disitu, ayo masuk..” teriak Evan memecahkan lamunanku. Aku menghampirinya dan memberikan senyum manis kepadanya.
“Gimana kabar kamu, Van?”
“Seperti yang kamu lihat Ra, aku hanya bisa berpangku tangan dengan obat-obatan ini. Obat hanya memperparah keadaanku. Lihat saja, tidak ada perubahan”, keluhnya.
“Obat bukan memperparah, Van.. Obat cuma meringankan saja. Kamu harus optimis ya, Van”
“Hei Ra, aku itu selalu optimis. Aku gak cengeng kayak kamu. Aku tau kok, mata kamu berkaca-kaca liat aku terbaring disini. Halah sudah deh, ga usah bohong. Aku tau kok. Lagian aku udah terima apa yang di kasih Tuhan ke aku. Kamu jangan khawatir ya, aku baik-baik aja kok”. Benar kata Evan, aku memang selalu ingin menangis melihatnya terbaring lemah seperti ini. Wanita sekuat apapun pasti sedih melihat keadaanya, termasuk aku.

Sudah 1 minggu aku tidak melihat senyum Evan di sekolah. Sangat sepi! Orang yang kucintai harus berjuang melawan kanker otak yang menggerogotinya. Apa? Cinta? Entahlah, aku sangat merasa sedih melihatnya seperti ini. Rasanya aku ingin sekali menggantikan posisi Evan. Setiap hari aku selalu bermunajat kepada Sang Pemilik.
Seperti biasanya, aku selalu menyempatkan diriku untuk pergi menjenguknya.
“Hai, Van. Apa kabar?”
“Baik-baik aja, Ra. Gimana keadaan kelas kita?”. Aku tau Evan berbohong. Aku tau dia sangat merasakan sakit.
“Ya seperti biasalah, Van. Akur… Tapi ada sesuatu yang janggal”
“Loh, apanya yang janggal, Ra?”
“Aku tidak menemukan senyuman kamu, Van.”
“Hahaha, ada-ada aja kamu Fira.. Eh aku punya berita bagus loh. Aku udah diizinin pulang sama dokter. Aku senang banget. Aku pengen kamu temenin aku jalan-jalan ke taman. Tempat pertama kita ketemu. Udah lama nggak kesana.”
“Aku turut senang mendengarnya. Oke bos, aku bakalan temenin kamu. Besok aku datang ke rumah kamu ya? Kita pergi bareng.”

Seperti janjiku kepada Evan, aku menjemputnya dan mengajaknya.
“Pagi Evan.” Sapaku
“Pagi juga Zafira. Yuk langsung aja kita ke taman” dia menarik tanganku.

Taman ini adalah tempat yang sering kami kunjungi. Segalanya kami lontarkan disini. Taman ini terletak tepat di belakang gedung sekolah kami. Entah apa yang membuat orang-orang jarang mengunjungi taman seindah ini. Di taman ini, begitu penuh dengan bunga-bunga yang indah dan berwarna. Begitu tentram, sejuk dan damai rasanya jika aku berada disini. Sejak Evan di rawat di rumah sakit, aku tak pernah mengunjungi taman ini walaupun jaraknya dekat dengan sekolah. Ada sepetak tanah yang begitu tandus dan kering di taman ini, kami berdualah yang menanaminya dan menatanya dengan begitu indah. Ya… Kami memang selalu kesini untuk merawatnya dan menghabiskan waktu disini.
“Hei Ra… kenapa bunga-bunga ini tampak layu? Apa kamu tidak merawatnya?”
“Maaf Van, mereka layu karena tidak ada embun disini”
“Embun? Maksud kamu?”
“Iya, embun itu kamu, Van. Mereka layu karena tidak ada kamu.” ujarku tersenyum.
Dia hanya terdiam saat aku berbicara seperti itu.
“Mereka merasa tak lengkap jika hanya dengan embun biasa dan aku. Mereka juga merasa kehilangan, Van”, kataku.
Tak sadar, sudah seharian juga kami di taman ini. Evan terlelap dipangkuanku. Menitik air mataku melihat perubahan fisiknya yang begitu drastis. Wajahnya yang tampan kini terlihat pucat, tubuhnya semakin kurus dan rambutnya semakin menipis dan tak berkilap, membuatku ingin sekali menggantikan posisinya. Aku bangga padanya, dia masih bisa tersenyum ditengah penderitaannya yang begitu pahit ini. Padahal sebenarnya aku tau ada kesedihan di balik senyuman itu.
“Fira…” ujarnya pelan.
“Eh, Van, kamu udah bangun? Kita pulang ya, udah mau malam nih”
“Jangan Ra, temenin aku disini. Aku mau merasakan embun membasahi tubuhku.”
“Tapi udara malam gak bagus buat kesehatan kamu, Van”
“Plis, sekali ini aja, temenin aku. Apa lebih baik aku sendiri saja?”
“Eh, jangan Van. Iya deh, aku temenin kamu.”
“Gitu dong baru namanya sahabat aku.”
“Evan…”
“Hmmm?”
“Kamu suka dengan embun?”
“Suka banget Ra, mereka sangat bening dan suci. Aku ingin seperti mereka. Kalo kamu?”
“Aku juga mencintai embun”
“Aku pengen banget seperti mereka Ra.. Mereka selalu memberikan suasana berbeda setiap pagi dan selalu di tunggu kehadirannya oleh bunga-bunga ini.” ujar Evan.
“Kamu sudah menjadi seperti mereka kok”
“maksud kamu?” tanya Evan bingung.
“Ehmm, engga. Gapapa.”
Aku merahasiakan perasaanku kepada Evan. Karena aku tau dia pasti tidak akan mengatakan kata “ya” jika aku mengungkapkan perasaanku. Aku tau dia tidak mau berpacaran dulu. Entah apa alasannya.
Jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Evan terlelap lelah disampingku.
“Van, Evan.. Evan.. Bangun… Katanya mau ngeliat embun? Sudah jam 5 nih Van”, pujukku. Tetapi aku tak mendengar sahutan darinya.
“Ayolah Van, jangan tidur terlalu lama…” Aku mulai resah, apa yang terjadi dengannya? Kurasakan tubuhnya dingin, tapi aku melepas pikiran negatifku. Mungkin saja dingin ini berasal dari embun.
“Evan sayang, ayo bangun dong. Jangan buat aku khawatir…”, dia tak juga menyahut. Tubuhnya pucat, dingin dan kaku. Aku berusaha membawanya ke rumah sakit dengan pertolongan orang-orang.
Setibanya dirumah sakit…
“Mbak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Sang Pencipta berkehendak lain. Dia sudah menghadap sang pencipta”, ujar dokter yang menangani Evan. Aku lemah, jatuh dan tidak bisa berkata apa-apa. Mengapa seindah ini rencana Evan untuk pergi menghadap Tuhan? Dia membuat skenario yang indah dengan mengajakku ke taman tempat pertama kami bertemu dan berpisah. Aku tak sanggup..
Beberapa bulan selepas kepergian Evan, ibunda Evan memberikan surat beramplop merah muda dengan sebuah gambar embun didalamnya. Aku membaca surat itu..
Untuk Zafira tersayang… Embun, titik air bening dari langit, membasahi kelopak bunga yang mekar. Aku ingin seperti embun, disukai banyak orang, disukai bunga-bunga. Siapakah bunga itu?
Zafira, terimakasih kamu sudah menjadi cinta terakhir di akhir hidupku. Dan kamu akan tetap menjadi kenangan bagiku. Ra, aku sengaja tak mengungkapkannya. Sahabat itu lebih berharga dari kekasih.
Oh iya, Ra.. Tetap rawat taman kita y… Aku tak mau mereka layu lagi. Disana tempat pertemuan kita pertama kali dan terakhir kalinya. Tetap jadikan aku embun dihatimu ya.. Aku menyayangimu sayang.. Sampai jumpa. Salam sayang, Evan…
Evan, kamu tau, sejak pertama ketemu kamu sudah menjadi embun dihatiku. Aku ingin menyanyikan lagu Embun kepada kamu.
Dirimu meninggalkanku, saat ku benar-benar mencintaimu. Jejakmu yang semakin menjauh, saat hatiku luluh karenamu. Seharusnya kau ada disini, saatku menangis. Semestinya kau memelukku, saat aku ringkih. Sadarkah engkau bagaikan embun pagi? Yang sejukkan mataku, engkau adalah resah gelisahku. Akankah engkau kan datang menjamah belai rambutku, engkau adalah bayangan diriku… Selamat jalan…
Cerpen Karangan: Nona Nada Damanik
Blog: littlethingaboutnona.blogspot.com
Nama Lengkap : Nona Nada Damanik
T.T.L : Pematangsiantar, 19 September 1997.
Facebook : Nona Nada Damanik

No comments:

Mau Belanja Di WhatsApp Saja Mudah

WhatsApp.com