Embun, ciptaan Tuhan yang sangat aku sukai. Mataku hanya bisa melihat
sehari sekali di pagi hari. Aku hanya bisa memandangnya dari jendela
kaca kamarku. Dia begitu sejuk, begitu segar, begitu damai. Setiap kali
aku melihat embun, jiwaku merasa tentram, nyaman, dan bahagia. Dia
begitu mempunyai sebuah nilai estetika tersendiri. Maha karya Tuhan yang
menciptakannya sebagai suatu zat yang membawa kebahagiaan bagi setiap
orang.
Begitu juga dengan seseorang yang sudah lama kusukai. Sadarkah dia bahwa
dirinya bagai embun pagi? Aku selalu merasa tentram, nyaman, dan
bahagia jika melihatnya. Diriku sendiri bingung kenapa aku bisa menyukai
sebegitu dalam seperti sekarang ini? Tampan? Ya, dia memang begitu
tampan, tetapi itu bukanlah suatu alasan utama aku menyukainya. Mungkin
karena pribadinya begitu low profile, baik, intelligent, dan
berkharisma. Sebut saja namanya Evan. Orang yang begitu aku kagumi dan
aku puja. Oh iya, sebelumnya aku belum perkenalkan diri. Aku Zafira. Aku
sangat gemar menggambar, menulis, dan bermain musik.
“Hei Zafira, ngapain berdiri disitu, ayo masuk..” teriak Evan
memecahkan lamunanku. Aku menghampirinya dan memberikan senyum manis
kepadanya.
“Gimana kabar kamu, Van?”
“Seperti yang kamu lihat Ra, aku hanya bisa berpangku tangan dengan
obat-obatan ini. Obat hanya memperparah keadaanku. Lihat saja, tidak ada
perubahan”, keluhnya.
“Obat bukan memperparah, Van.. Obat cuma meringankan saja. Kamu harus optimis ya, Van”
“Hei Ra, aku itu selalu optimis. Aku gak cengeng kayak kamu. Aku tau
kok, mata kamu berkaca-kaca liat aku terbaring disini. Halah sudah deh,
ga usah bohong. Aku tau kok. Lagian aku udah terima apa yang di kasih
Tuhan ke aku. Kamu jangan khawatir ya, aku baik-baik aja kok”. Benar
kata Evan, aku memang selalu ingin menangis melihatnya terbaring lemah
seperti ini. Wanita sekuat apapun pasti sedih melihat keadaanya,
termasuk aku.
—
Sudah 1 minggu aku tidak melihat senyum Evan di sekolah. Sangat sepi!
Orang yang kucintai harus berjuang melawan kanker otak yang
menggerogotinya. Apa? Cinta? Entahlah, aku sangat merasa sedih
melihatnya seperti ini. Rasanya aku ingin sekali menggantikan posisi
Evan. Setiap hari aku selalu bermunajat kepada Sang Pemilik.
Seperti biasanya, aku selalu menyempatkan diriku untuk pergi menjenguknya.
“Hai, Van. Apa kabar?”
“Baik-baik aja, Ra. Gimana keadaan kelas kita?”. Aku tau Evan berbohong. Aku tau dia sangat merasakan sakit.
“Ya seperti biasalah, Van. Akur… Tapi ada sesuatu yang janggal”
“Loh, apanya yang janggal, Ra?”
“Aku tidak menemukan senyuman kamu, Van.”
“Hahaha, ada-ada aja kamu Fira.. Eh aku punya berita bagus loh. Aku udah
diizinin pulang sama dokter. Aku senang banget. Aku pengen kamu temenin
aku jalan-jalan ke taman. Tempat pertama kita ketemu. Udah lama nggak
kesana.”
“Aku turut senang mendengarnya. Oke bos, aku bakalan temenin kamu. Besok aku datang ke rumah kamu ya? Kita pergi bareng.”
—
Seperti janjiku kepada Evan, aku menjemputnya dan mengajaknya.
“Pagi Evan.” Sapaku
“Pagi juga Zafira. Yuk langsung aja kita ke taman” dia menarik tanganku.
—
Taman ini adalah tempat yang sering kami kunjungi. Segalanya kami
lontarkan disini. Taman ini terletak tepat di belakang gedung sekolah
kami. Entah apa yang membuat orang-orang jarang mengunjungi taman
seindah ini. Di taman ini, begitu penuh dengan bunga-bunga yang indah
dan berwarna. Begitu tentram, sejuk dan damai rasanya jika aku berada
disini. Sejak Evan di rawat di rumah sakit, aku tak pernah mengunjungi
taman ini walaupun jaraknya dekat dengan sekolah. Ada sepetak tanah yang
begitu tandus dan kering di taman ini, kami berdualah yang menanaminya
dan menatanya dengan begitu indah. Ya… Kami memang selalu kesini untuk
merawatnya dan menghabiskan waktu disini.
“Hei Ra… kenapa bunga-bunga ini tampak layu? Apa kamu tidak merawatnya?”
“Maaf Van, mereka layu karena tidak ada embun disini”
“Embun? Maksud kamu?”
“Iya, embun itu kamu, Van. Mereka layu karena tidak ada kamu.” ujarku tersenyum.
Dia hanya terdiam saat aku berbicara seperti itu.
“Mereka merasa tak lengkap jika hanya dengan embun biasa dan aku. Mereka juga merasa kehilangan, Van”, kataku.
Tak sadar, sudah seharian juga kami di taman ini. Evan terlelap
dipangkuanku. Menitik air mataku melihat perubahan fisiknya yang begitu
drastis. Wajahnya yang tampan kini terlihat pucat, tubuhnya semakin
kurus dan rambutnya semakin menipis dan tak berkilap, membuatku ingin
sekali menggantikan posisinya. Aku bangga padanya, dia masih bisa
tersenyum ditengah penderitaannya yang begitu pahit ini. Padahal
sebenarnya aku tau ada kesedihan di balik senyuman itu.
“Fira…” ujarnya pelan.
“Eh, Van, kamu udah bangun? Kita pulang ya, udah mau malam nih”
“Jangan Ra, temenin aku disini. Aku mau merasakan embun membasahi tubuhku.”
“Tapi udara malam gak bagus buat kesehatan kamu, Van”
“Plis, sekali ini aja, temenin aku. Apa lebih baik aku sendiri saja?”
“Eh, jangan Van. Iya deh, aku temenin kamu.”
“Gitu dong baru namanya sahabat aku.”
“Evan…”
“Hmmm?”
“Kamu suka dengan embun?”
“Suka banget Ra, mereka sangat bening dan suci. Aku ingin seperti mereka. Kalo kamu?”
“Aku juga mencintai embun”
“Aku pengen banget seperti mereka Ra.. Mereka selalu memberikan suasana
berbeda setiap pagi dan selalu di tunggu kehadirannya oleh bunga-bunga
ini.” ujar Evan.
“Kamu sudah menjadi seperti mereka kok”
“maksud kamu?” tanya Evan bingung.
“Ehmm, engga. Gapapa.”
Aku merahasiakan perasaanku kepada Evan. Karena aku tau dia pasti
tidak akan mengatakan kata “ya” jika aku mengungkapkan perasaanku. Aku
tau dia tidak mau berpacaran dulu. Entah apa alasannya.
Jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Evan terlelap lelah disampingku.
“Van, Evan.. Evan.. Bangun… Katanya mau ngeliat embun? Sudah jam 5 nih Van”, pujukku. Tetapi aku tak mendengar sahutan darinya.
“Ayolah Van, jangan tidur terlalu lama…” Aku mulai resah, apa yang
terjadi dengannya? Kurasakan tubuhnya dingin, tapi aku melepas pikiran
negatifku. Mungkin saja dingin ini berasal dari embun.
“Evan sayang, ayo bangun dong. Jangan buat aku khawatir…”, dia tak juga
menyahut. Tubuhnya pucat, dingin dan kaku. Aku berusaha membawanya ke
rumah sakit dengan pertolongan orang-orang.
Setibanya dirumah sakit…
“Mbak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Sang Pencipta berkehendak
lain. Dia sudah menghadap sang pencipta”, ujar dokter yang menangani
Evan. Aku lemah, jatuh dan tidak bisa berkata apa-apa. Mengapa seindah
ini rencana Evan untuk pergi menghadap Tuhan? Dia membuat skenario yang
indah dengan mengajakku ke taman tempat pertama kami bertemu dan
berpisah. Aku tak sanggup..
Beberapa bulan selepas kepergian Evan, ibunda Evan memberikan surat
beramplop merah muda dengan sebuah gambar embun didalamnya. Aku membaca
surat itu..
Untuk Zafira tersayang… Embun, titik air bening dari langit, membasahi
kelopak bunga yang mekar. Aku ingin seperti embun, disukai banyak orang,
disukai bunga-bunga. Siapakah bunga itu?
Zafira, terimakasih kamu sudah menjadi cinta terakhir di akhir hidupku.
Dan kamu akan tetap menjadi kenangan bagiku. Ra, aku sengaja tak
mengungkapkannya. Sahabat itu lebih berharga dari kekasih.
Oh iya, Ra.. Tetap rawat taman kita y… Aku tak mau mereka layu lagi.
Disana tempat pertemuan kita pertama kali dan terakhir kalinya. Tetap
jadikan aku embun dihatimu ya.. Aku menyayangimu sayang.. Sampai jumpa.
Salam sayang, Evan…
Evan, kamu tau, sejak pertama ketemu kamu sudah menjadi embun dihatiku. Aku ingin menyanyikan lagu Embun kepada kamu.
Dirimu meninggalkanku, saat ku benar-benar mencintaimu. Jejakmu yang
semakin menjauh, saat hatiku luluh karenamu. Seharusnya kau ada disini,
saatku menangis. Semestinya kau memelukku, saat aku ringkih. Sadarkah
engkau bagaikan embun pagi? Yang sejukkan mataku, engkau adalah resah
gelisahku. Akankah engkau kan datang menjamah belai rambutku, engkau
adalah bayangan diriku… Selamat jalan…
Cerpen Karangan: Nona Nada Damanik
Blog: littlethingaboutnona.blogspot.com
Nama Lengkap : Nona Nada Damanik
T.T.L : Pematangsiantar, 19 September 1997.
Facebook : Nona Nada Damanik
No comments:
Post a Comment