Wednesday 24 February 2016

Menunggu Kamis




Menunggu Kamis


Semua bisa karena terbiasa. Ya, kami terbiasa bertemu. Semuanya memang ajaib. Aku lupa kapan kami bertemu untuk kali pertama. Aku hanya mengaggumi untuk pertama kali karena sosoknya yang tinggi dan tidak banyak bicara. Kulit sawo matang dan mata yang bersinar. Dia seorang yang pandai bermusik. Entah mengapa tubuhku yang lelah saat itu begitu menikmati kehadirannya di salah satu deretan suara kelompok kami. Aku tidak pernah tahu namanya hingga dia memperkenalkan diri.
"Yosi.", dia mengulurkan tangannya, berharap jabatnya bersambut. "Merry.", jawab singkatku. Baru saja kami melempar senyum dan larut dalam pandang masing-masing, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari belakang. "Hati-hati, dia dosen kalian. Yang sopan kenalannya."

Sial. Identitasku terbuka begitu cepat. Seketika berubahlah wajahnya dan kalau di depanku ada cermin, aku bisa melihat bagaimana ekspresi wajahku berubah seketika. "Ohh..maaf Bu dosen, ga bermaksud apa-apa, Bu. Saya Cuma pengen kenalan dengan ibu aja." , seketika nada dan gaya bicaranya berubah. Namun tatap matanya tidak berubah. Kami tahu bahwa kami saling curi pandang. Tidak rumit untuk menjelaskan itu. Dia yang sederhana sudah menarik perhatianku. Aku tidak tahu apakah aku menarik di matanya, yang jelas dia begitu di mataku.
Bagaimana caranya tertawa dan tersenyum sambil menyisipkan lirikannya ke arahku, demikian juga aku. Kami ini seperti anak remaja yang sedang mengaggumi satu sama lain. Cara terbaiknya adalah diam-diam.

"Ibu mengajar apa dan di mana?", lanjutnya sambil mengambil kursi dan menempatkannya di sampingku. Aku tahu rentang pautan usia kami jauh. Dia bukan dari tanah Jawa. Jangan tanyakan alasan mengapa hal ini kerap terjadi. Ini semua terjadi begitu saja. Kalau sudah begini, apa yang mau dipertanyakan. Konyol ketika kita mempertanyakan rasa. Kata banyak orang, rasa itu adalah milik rasa. Menceritakannya pun tidak bisa menjadikan rasa milik bersama. Hanya cerita yang akan menjadi milik bersama, tidak dengan rasa. "Aku mengajar psikologi, Bang. Di salah satu kampus swasta di sini.". Jawabku singkat. Aku masih malu, bahkan aku menunduk ketika dia menatap dan sibuk bertanya banyak hal. Inikah namanya jatuh cinta pada pandangan pertama? Yang kata banyak orang omong kosong. Ini jatuh hati.
"Saya juga dulu kuliah di situ, Bu. Tapi sepertinya saya sudah kena DO karena saya malas, Bu. Ibu kalau punya mahasiswa seperti saya pasti stress. Pilihannya kalau gak saya yg keluar, ibu yang minta pindah kelas.", ceritanya sambil melirik. Ihh..genit ini orang, dalam hatiku.

"Ahh, masa sih?" , aku mengernyitkan dahi, meragu. Dia hanya menaikkan bahu, menggeleng dan tersenyum dengan gayanya yang menceritakannya di sini pun aku tak bisa. Aku memilih membereskan barangku dan pamit pulang. "Ibu besok sabtu datang?", tanyanya saat aku sibuk memasukkan smartphone, teks lagu dan laptop. "Belum tahu, kok kayaknya ga bisa ya.", sekenanya aku menjawab. Sabtu aku ingin membuat agenda dengan teman-temanku. "Ohh gitu ya, Bu. Saya paham. Ibu malam mingguan ya?", sahutnya sambil membereskan kursiku. Aku hanya tersenyum dan pamit. Meninggalkannya begitu itu lebih dari cukup.

Sabtu, aku datang dan belum kulihatnya. Aku memutuskan masuk untuk merapikan berkas lagu dan ngobrol dengan teman yang lain. Saat keluar, dia tertangkap mataku. Manis, lebih rapi dengan jambang tipis yang sudah menyedot perhatianku. Celana jeans, polo shirt hitam dan senyum. "Ehh..halo ibu dosen. Batal malam minggu ya?", tanyanya sambil senyam senyum, dan tatapannya membuatku malu. "Jangan panggil aku ibu dosen, bang. Panggil nama saja.", spontanku sambil memberinya jabatan. "Saya Cuma mau menghormati ibu dan profesi ibu. Ibu cantik malam ini.", aku kaget dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Aku tersipu malu, terimakasih.

Kami sudah menyelesaikan tugas masing-masing. Dia tenor dan saya sopran. Kami ngobol banyak hal. Dia menanyakan usiaku, rumahku dan hobiku. Hingga di tengah keramaian ia memilih mengambil gitar dan memetikkan lagu untukku. Dia mengambilkan kursi buatku di saat yang lain sibuk dalam keramaian. Aku memang suka diperlakukan manis hingga aku tak lagi sempat berpikir intensi di balik itu semua. Kami tidak mau berpindah satu sama lain.
Selesainya kami makan, dia mengajakku bergabung dengan teman-teman yang lain untuk bergoyang. Aku menggeleng karena aku lebih menikmati keramaian. Aku tidak ingin bergabung di keramaian kalau mereka bukan kawananku.

"Ayolah bu dosen, ibu di kampus boleh jaim, sama saya jangan, Bu. Ayo berdiri, gerak sama saya, Bu!", dia mengulurkan tangan kanannya. "Buang dulu rokok abang baru aku mau ikut sama abang!", aku mendapatinya memegang rokok di tangan kirinya. Seketika itu dia mematikan rokok dan menyimpannya. Bayangkan seberapa dekat jarak kami dan aku hanya menunduk. Dia orang yang baru kukenal beberapa hari lalu namun kami sering bertemu dan dia begitu manis. Aku memilih menikmati daripada ribut mempertanyakan, membuat isi kepalaku penuh.

Semua berakhir ketika aku pamit pulang. "Hati-hati ya, bu dosen. Sampai jumpa lagi." Aku hanya bisa tersenyum. Berjalan dan menengok ke belakang sebentar. Dia mengangguk dan tersenyum. Aku membalasnya. Cerita diam-diam ini tidak lagi diam-diam, namun sensasi itu hanya terasa dalam diam. Kini aku menunggu kamis untuk bisa melihatnya lagi. Kamis, kami latihan lagi.

No comments:

Mau Belanja Di WhatsApp Saja Mudah

WhatsApp.com