Setiap hari, akudiberi satu tugasoleh Yang Mengawasi Kita dari Atas Sana: mensyukuri bahwadirimu ada.
Memang tak tiap waktu kita bisa bertatap muka, namun kau tetap
meyakinkanku bahkan di saat kitatak sedang bersama. Rasa sayangmu
tenang, tanpa ekspektasi berlebihan atau pertengkaran karena hal
kekanakan. Aku memang tak merasakan “kekacauan” seperti saat pertama
kali jatuh cinta, namun denganmu hubungan dibawa ketingkat yang
lebihdewasa.
Bersamamu, cinta jelas ada ujungnya. Aku tahu kemana harus melangkah, tak perlutakut hilang arah.
Tapitunggu. Tak perlu terburu-buru menggandeng jemariku menuju lamin
yang satu itu. Percayalah, di balik tumpukanundangan pernikahan yang
kita terima sabanminggu — dan pertanyaan “Kapan?” yang muncul tanpa jemu
—aku dan kaumasih punya banyakwaktu.
Lagipula, aku masih harus memacak dan memperbaikidiri. Tak semudah itu
menjadi seorang istri. Saat aku sudah lebih baik dari ini, kau boleh
meminta tangankudan membawanya kemanapun kau mau. Aku berjanji.
Sebelum nanti kita benar-benar hidup bersisian, ada sekian banyak mimpiyang masih ingin kulunasi sendirian
Pernikahan menawarkan gambaran yang menyenangkan. Aku puntak meragukan
kecakapanmu sebagai pasangan.Tapi, mari kita pahami kenapakau dan aku
tak harus menikah saat ini juga. Bukannya ingin menghindar, hanya
saja,masih banyak “hutang” yang sekarang mesti kulunasi sendirian.
Pertama, kau tentu tahu keahlianmemasakku layak ditertawakan. Dari TK
nol kecil sampai sekarang, kemampuankutetap saja nol besar.Kini akumasih
ingin belajar meracik bumbu, toh aku masih muda dan punya waktu. Saat
kita memang sudah jadi suami-istri nanti, aku tak ingin hari-hari
pertamamu jadi “lucu” karena kau kubujuk melahap habispercobaangagalku.
Aku pun ingin menuntut ilmu lebih tinggi. Mengejutkan diriku sendiri
bahwa ternyata aku tak “sebodoh” yang kukira selama ini. Tentu kauingin
pasangan yang otaknya “jalan”, bukan?Aku menyukaimu karena menghargai
jalan pikiranku, tak semata terpukau pada rona lipstik atau kepandaianku
memasang bulu mata palsu.
Yang lebih penting lagi, aku ingin bisa lebih pandai mencukupi diri
sendiri. Memang akan adadirimu nanti, namun aku ingin kita bisa saling
mengisi. Tak bisa hanya dirimu saja yang menopangku — aku pun ingin
mampu mengimbangimu.
Aku tahu: hidup jelaslebih baik dilalui denganmu. Namun tak ada yang baik dari tingkah laku terburu-buru.
“Segerakan,” kata orang. Oh, apakah hidup hanya berputar soal tanggal pernikahan?Lantas siapa yang mau bertanggung jawab nanti,saatkita diterpa masalah karena terburu-buru mengikat janji?
Aku pun inginbersanding secara resmi di sampingmu. Namun aku tahu, masih
banyak kekurangan dalam diriku. Daripada terburu-buru, aku lebih ingin
menambalkekurangan-kekurangan itu. Memperbaiki kualitas diri,
sembarimenabung agarlebih mapan saat kita menikah nanti.
Percayalah,hanya ada satu arah yang aku tuju dan arah itu adalah dirimu.
Aktivitas jual beli online yang
kujabani semakin berkembangkini. Aku ingin fokus mengembangkannya lebih
lagi, agar bisa diandalkan saataku sudah menjadi seorang istri.Dari
sini, aku bisa turut membantu menutupbiaya hidup yang makin lama makin
tinggi karena inflasi. Kau pun tak perlu pusing mendengar rengekanku
soal barang-barang yang ingin dibeli.
Tak perlu khawatir aku akan kerepotan menjalankan usahaku sampai lupa mengurusimu. Toko pernak-pernik yang kubuka di Tokopedia bisa kujalankanlewatketikan jari. Apalagi kini, setelahada aplikasi Tokopedia yang memudahkanku melayani segala permintaan pembeli.
Orangtuakita membuat pernikahan terlihat mudah. Tapi mereka tak akan
mampu bertahan sampaisekarang, jika yang mereka punya hanyalah cinta.
Kita sudah memiliki rasa — itu modal utama. Kiniwaktunya mengembangkan
kemapanan, dan kualitas diriyang lain-lainnya.
Tolong jangan gentar saat pertanyaan“Kapan?” mendatangi. Kita menikah nanti karena keinginan sendiri — bukan karena lelah ditanyai
Bersabarlah, Sayang. Biarkan saja orang lain bertanya “Kapan?”
Kita akan menikah karena keinginan sendiri — bukan karena sudah lelah
ditanyai. Toh kau dan aku sama-sama tahu, kita sedang berusaha agar bisa
menjawab mereka dengan sebuah tanggal yang pasti.
Lagipula siapa yang bisa menjamin bahwa setelah kita menikah nanti,
pertanyaan orang-orang akan berhenti? Akuyakin justru sebaliknya yang
terjadi. “Kapan nikah?” akan berganti menjadi macam-macam pertanyaan
lainnya saat kita akhirnya sudah resmi hidup bersama. Entah itu
pertanyaan soal keturunan, soal rencana memiliki rumah, soal pekerjaan
dan promosi. Tak ada gunanya terpaksa melakukan sesuatu hanya karena
lelahditanyai.
Kuharap kita sama-sama bisa bersabar, tak tertekan oleh pertanyaan
“Kapan?”Aku ingin rumah tangga yang dewasa, yang tak hanya diisi
olehrasanamun juga keberanian menghadapi realita. Denganmu, aku yakin
bisa menghadapinya. Terutama nanti, beberapa saat lagi, ketika aku sudah
lebih mampu dan dewasa.
Tenanglah, aku tak sedangmeragukanmu.Bersanding di sisimu justru sedang kusiapkan dengan tuntasnya kelayakan diriku
Kuharap kau memahami, keputusanku untuk tak terburu-buru tidaklah
diambilkarena aku meragukanmu. Justru sebaliknya, akumengagumi sosokmu
dan ingin mengembangkan diri agar lebih bisa mengimbangimu. Tak akan
kubiarkan kau malu atau kesusahan karena memilikipasangan hidup
sepertiku.
Beri aku waktu. Melunasi mimpi-mimpiku sendirian, memperbaiki segala
kekurangan.Demi kehidupan bersama yang tak hanya manis di awal, demisisa
hidup yang takakan pernah kita lupakan.
Saat bersama kita akan segera tiba. Maukah kamu bersabar, sebentar lagi saja?
No comments:
Post a Comment